Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 58
(1-357)
Demikian pula dengan cara pandang dan niat. Keduanya merubah esensi segala sesuatu dengan membalikkan keburukan menjadi kebaikan sebagaimana tanah dirubah menjadi emas. Dalam hal ini niat juga bisa merubah gerakan biasa menjadi ibadah, serta cara pandang merubah ilmu-ilmu alam menjadi pengetahuan ilahiyah. Jika dilihat dengan ukuran sebab maka merupakan kebodohan. Namun jika dilihat dengan ukuran Allah, ia merupakan pengetahuan ilahiyah.
Selanjutnya, terkait dengan kalimat atau ucapan.
Yang pertama adalah “Aku bukan Pemilik diriku.” Pemilik diriku adalah Sang Pemilik kerajaan, Zat Yang Mahaagung dan Mulia. Kubayangkan diriku sebagai pemilik untuk memahami sifat-sifat Pemilikku lewat analogi. Maka dengan sesuatu yang terbatas dan imajinatif aku memahami Zat yang tak terbatas. Akhirnya, pagi datang dan lentera hayalan itupun padam.
Kedua adalah “Kematian adalah sesuatu yang haq (nyata)”. Kehidupan dan tubuh ini tidak bisa menjadi pilar kehidupan yang agung. Pasalnya, keduanya tidak abadi; juga tidak berasal dari besi dan batu. Namun ia berasal dari daging, darah, dan tulang, serta berbagai unsur yang saling berlawanan yang untuk beberapa saat bisa sejalan namun kemudian siap berpisah. Bagaimana mungkin istana seluas dunia dibangun di atas pondasi yang rapuh dan pilar yang cepat membusuk.
Ketiga adalah “Tuhanku Mahaesa”. Puncak kebahagiaan setiap orang adalah ketika berserah kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jika tidak, tentu ia membutuhkan banyak tuhan yang saling berseberangan. Pasalnya, totalitas manusia memiliki berbagai kebutuhan terhadap banyak hal, sejumlah hubungan dengannya, derita, kesan, kesadaran dan ketidaksadaran terhadapnya. Ini semua merupakan kondisi yang sangat menyiksa. Maka dari itu, mengetahui Tuhan Yang Mahaesa di mana sejumlah tuhan imajiner ini hanyalah hijab halus yang membungkus kekuasaan-Nya merupakan sorga duniawi.
Keempat adalah “ego” yang merupakan titik hitam yang kepalanya dibungkus dengan goresan kreasi Tuhan. Padanya tampak bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada dirinya sendiri.
Penjelasan tentang sejumlah kalimat ini akan diuraiakan di penutup bab pertama.
Selanjutnya, terkait dengan kalimat atau ucapan.
Yang pertama adalah “Aku bukan Pemilik diriku.” Pemilik diriku adalah Sang Pemilik kerajaan, Zat Yang Mahaagung dan Mulia. Kubayangkan diriku sebagai pemilik untuk memahami sifat-sifat Pemilikku lewat analogi. Maka dengan sesuatu yang terbatas dan imajinatif aku memahami Zat yang tak terbatas. Akhirnya, pagi datang dan lentera hayalan itupun padam.
Kedua adalah “Kematian adalah sesuatu yang haq (nyata)”. Kehidupan dan tubuh ini tidak bisa menjadi pilar kehidupan yang agung. Pasalnya, keduanya tidak abadi; juga tidak berasal dari besi dan batu. Namun ia berasal dari daging, darah, dan tulang, serta berbagai unsur yang saling berlawanan yang untuk beberapa saat bisa sejalan namun kemudian siap berpisah. Bagaimana mungkin istana seluas dunia dibangun di atas pondasi yang rapuh dan pilar yang cepat membusuk.
Ketiga adalah “Tuhanku Mahaesa”. Puncak kebahagiaan setiap orang adalah ketika berserah kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jika tidak, tentu ia membutuhkan banyak tuhan yang saling berseberangan. Pasalnya, totalitas manusia memiliki berbagai kebutuhan terhadap banyak hal, sejumlah hubungan dengannya, derita, kesan, kesadaran dan ketidaksadaran terhadapnya. Ini semua merupakan kondisi yang sangat menyiksa. Maka dari itu, mengetahui Tuhan Yang Mahaesa di mana sejumlah tuhan imajiner ini hanyalah hijab halus yang membungkus kekuasaan-Nya merupakan sorga duniawi.
Keempat adalah “ego” yang merupakan titik hitam yang kepalanya dibungkus dengan goresan kreasi Tuhan. Padanya tampak bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada dirinya sendiri.
Penjelasan tentang sejumlah kalimat ini akan diuraiakan di penutup bab pertama.
No Voice