Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 3
(1-357)
“Said Lama” yang terluka berkata kepada kalbunya bahwa “Ustadz hakiki adalah Alquran dan menyatukan kiblat bisa tercapai dengan ustadz itu”. Maka, ia segera mengambil petunjuk “guru suci” tersebut untuk membina ruhani dan kalbunya dengan cara yang asing. Iapun harus berjuang secara maknawi dan ilmiah untuk melawan nafsu ammarah berikut keraguan dan syubhat yang melekat padanya. Di saat menyusuri jalan tersebut dan di saat berjuang menyingkirkan segala keraguan, ia melewati berbagai kedudukan serta mempelajari isinya; tidak seperti kaum yang tenggelam dalam suluk dengan menutup mata. Namun, suluk atau perjalanan ruhani yang dilakukan seperti yang dilakukan oleh Imam Ghazali[1], Imam ar-Rabbani, dan Jalaluddin ar-Rumi[2] dengan membuka mata hati, jiwa, dan akal. Ia berjalan pada berbagai kedudukan tersebut serta melihat isinya lewat semua penglihatan tadi secara jelas tanpa ada yang samar.

Segala puji bagi Allah bahwa ia menemukan dan memasuki sebuah jalan yang menuju hakikat dengan pelajaran dan bimbingan Alquran. Bahkan dalam sejumlah Risalah Nur yang ditulis oleh “Said Baru” tertampak sebuah hakikat:

Pada segala sesuatu terdapat tanda yang menunjukkan bahwa Dia esa[3]
----------------------------------------------------
[1] Imam Ghazali (450-505 H) adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Ghazali. Ia seorang fakih, ahli ilmu kalam, filosof, sufi, serta reformis agama dan masyarakat. Ia penulis risalah spiritual. Pengaruhnya demikian tampak dalam kehidupan Islam. Ia dilahirkan di Thus, wilayah Khurasan. Belajar ilmu fikh dan kalam dari imam al-Haramayn. Lalu belajar ilmu filsafat, khususnya pandangan al-Farabi, Ibnu Sina, dan ilmu kejiwaan. Dalam ilmu-ilmu tersebut Ia tidak menemukan sesuatu yang memuaskan kebutuhan akalnya terhadap keyakinan serta keinginan kalbunya untuk bahagia. Ia sibuk mengajar di madrasah Nizhamiyyah serta bepergian ke banyak negeri. Di antaranya Damaskus, Baytul Maqdis, Kairo, Iskandariyah, mekkah, dan Madinah. Di antara tulisannya adalah Ihya Ulumuddin, Tahafut al-Falasifah, dan al-Munqidz min adh-Dhalâl .

[2] Maulana ar-Rumi (604-672 H) adalah seorang ulama yang bermadzhab Hanafi, serta menguasai berbagai ilmu. Kemudian ia menjadi sufi. Ia penulis al-Matsnawi yang terkenal dengan bahasa Persia dalam 26 ribu bait. Ia pendiri tarekat Maulawiyyah. Lahir di Balkh (Persia), lalu menetap di Konya pada tahun 623 H. Ia dikenal menguasai fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Pernah mengajar di Konya pada empat sekolah setelah ayahnya meninggal pada tahun 628 H. Di antara karyanya adalah Dîwân Kabîr, Fîhi ma Fîhi, dan Maktûbât.

[3] Oleh Abul Atahiyyah dalam kumpulan syairnya. Bait tersebut dinisbatkan kepada Ali ra. Sementara, Ibn Katsir dalam Tafsirnya menisbatkan kepada Ibn al-Mu’taz.
No Voice