Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 4
(1-357)
Perihal Kedua
Karena “Said Lama” berjalan dengan persatuan akal dan kalbu seperti seperti Imam Ghazali, Imam Rabbani, dan Jalaluddin ar-Rumi, maka Ia segera membalut berbagai luka kalbu dan ruhani, serta membebaskan jiwanya dari berbagai bisikan dan ilusi. Setelah bebas darinya, “Said Lama” berubah menjadi “Said Baru”. Iapun membuat sejumlah tulisan sejenis al-Matsnawi—yang aslinya berbahasa Persia--dengan bahasa Arab dalam ungkapan-ungkapan yang singkat.
Ketika ada kesempatan, iapun berani menerbitkannya. Tulisan tersebut berupa “tetesan, untaian benih, biji, bunga, partikel, semerbak, nyala, dan berbagai pelajaran lainnya.” Ia kemudian ditambah dengan risalah berbahasa Turki: “cahaya” dan “perihal”. Ia menjelaskan persoalan tersebut selama sekitar setengah abad dalam Risalah Nur yang tidak hanya membahas jihad melawan hawa nafsu dan setan; tetapi seperti kompilasi keseluruhan dari al-Matsnawi. Buku ini menyelamatkan orang-orang yang sedang bingung dan membutuhkan, serta menarik para filosof yang tergiring kepada kesesatan.
Perihal Ketiga
Perbincangan yang berlangsung antara “Said Lama” dan “Said Baru” telah mengusir setan dan menundukkan nafsu sehingga Risalah Nur menjadi dokter luar biasa bagi pencari hakikat yang sedang terluka. Ia membuat kaum atheis dan sesat terdiam.
Jadi, jelas bahwa al-Matsnawi yang berbahasa Arab ini merupakan benih dan tunas bagi Risalah Nur. Ia membebaskan manusia dari berbagai syubhat yang dihembuskan oleh setan, baik dari golongan jin maupun manusia. Sejumlah informasi tersebut ibarat sesuatu yang terlihat jelas, jika pengetahuannya dengan ilm al yaqin mendatangkan kepuasaan dan ketenangan pada tingkat ain al yaqin.
Perihal Keempat
“Said Lama” lebih banyak menggeluti ilmu hikmah dan hakikat, berdialog dan berdiskusi dengan tokoh ulama dalam berbagai persoalan yang mendalam, memperhatikan tingkat pemahaman muridnya terdahulu yang perhatian terhadap ilmu-ilmu syariat, serta menunjukkan peningkatan jenjang pemikiran dan limpahan pengetahuan kalbunya lewat ungkapan yang sangat dalam dan ringkas yang hanya dipahami olehnya. Karena itu, tidak aneh kalau sebagiannya bisa jadi hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan luas setelah mencurahkan upaya optimal. Jika dijelaskan dengan lengkap, ia melaksanakan tugas Risalah Nur.
Jadi, Buku al-Matsnawi yang merupakan tunas dari Risalah Nur bekerja dalam aspek anfusi dan internal seperti jalan khafi (tersembunyi), sehingga berhasil membuka jalan dalam kalbu dan ruh. Sementara, Risalah Nur yang merupakan kebunnya telah membuka jalan yang luas menuju makrifatullah dengan menghadap ke cakrawala—sebagai jalan yang terbentang jelas--di samping berjuang melawan nafsu. Ia seperti tongkat Musa as. yang ketika dipukulkan memancarkan air yang berlimpahdiman saja.
Karena “Said Lama” berjalan dengan persatuan akal dan kalbu seperti seperti Imam Ghazali, Imam Rabbani, dan Jalaluddin ar-Rumi, maka Ia segera membalut berbagai luka kalbu dan ruhani, serta membebaskan jiwanya dari berbagai bisikan dan ilusi. Setelah bebas darinya, “Said Lama” berubah menjadi “Said Baru”. Iapun membuat sejumlah tulisan sejenis al-Matsnawi—yang aslinya berbahasa Persia--dengan bahasa Arab dalam ungkapan-ungkapan yang singkat.
Ketika ada kesempatan, iapun berani menerbitkannya. Tulisan tersebut berupa “tetesan, untaian benih, biji, bunga, partikel, semerbak, nyala, dan berbagai pelajaran lainnya.” Ia kemudian ditambah dengan risalah berbahasa Turki: “cahaya” dan “perihal”. Ia menjelaskan persoalan tersebut selama sekitar setengah abad dalam Risalah Nur yang tidak hanya membahas jihad melawan hawa nafsu dan setan; tetapi seperti kompilasi keseluruhan dari al-Matsnawi. Buku ini menyelamatkan orang-orang yang sedang bingung dan membutuhkan, serta menarik para filosof yang tergiring kepada kesesatan.
Perihal Ketiga
Perbincangan yang berlangsung antara “Said Lama” dan “Said Baru” telah mengusir setan dan menundukkan nafsu sehingga Risalah Nur menjadi dokter luar biasa bagi pencari hakikat yang sedang terluka. Ia membuat kaum atheis dan sesat terdiam.
Jadi, jelas bahwa al-Matsnawi yang berbahasa Arab ini merupakan benih dan tunas bagi Risalah Nur. Ia membebaskan manusia dari berbagai syubhat yang dihembuskan oleh setan, baik dari golongan jin maupun manusia. Sejumlah informasi tersebut ibarat sesuatu yang terlihat jelas, jika pengetahuannya dengan ilm al yaqin mendatangkan kepuasaan dan ketenangan pada tingkat ain al yaqin.
Perihal Keempat
“Said Lama” lebih banyak menggeluti ilmu hikmah dan hakikat, berdialog dan berdiskusi dengan tokoh ulama dalam berbagai persoalan yang mendalam, memperhatikan tingkat pemahaman muridnya terdahulu yang perhatian terhadap ilmu-ilmu syariat, serta menunjukkan peningkatan jenjang pemikiran dan limpahan pengetahuan kalbunya lewat ungkapan yang sangat dalam dan ringkas yang hanya dipahami olehnya. Karena itu, tidak aneh kalau sebagiannya bisa jadi hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan luas setelah mencurahkan upaya optimal. Jika dijelaskan dengan lengkap, ia melaksanakan tugas Risalah Nur.
Jadi, Buku al-Matsnawi yang merupakan tunas dari Risalah Nur bekerja dalam aspek anfusi dan internal seperti jalan khafi (tersembunyi), sehingga berhasil membuka jalan dalam kalbu dan ruh. Sementara, Risalah Nur yang merupakan kebunnya telah membuka jalan yang luas menuju makrifatullah dengan menghadap ke cakrawala—sebagai jalan yang terbentang jelas--di samping berjuang melawan nafsu. Ia seperti tongkat Musa as. yang ketika dipukulkan memancarkan air yang berlimpahdiman saja.
No Voice