Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 67
(1-144)
Pada tanggal 20 Januari 1960M Ustadz Badiuzzaman berangkat dari Emirdag ke Sparte. Setelah beberapa waktu di sana beliau pergi ke Afiyun. Di Afiyun beliau tinggal sehari, setelah itu kembali ke Emirdag.
Pada bulan Maret tahun yang sama beliau sakit kuat. Beliau sakit radang paru-paru. Dan pada tanggal 18 bulan yang sama sakitnya bertambah kuat sehingga beliau pengsan beberapa kali. Kemudian beliau tertidur, dan baru terjaga menjelang sembahyang Subuh. Beliau berwuduk dan menukar pakaiannya, seakan-akan telah sembuh dari penyakitnya. Beliau sembahyang Subuh kemudian memanggil murid-muridnya satu persatu. Beliau mengucapkan selamat tinggal dan berkata kepada mereka dengan berlinangan air mata: “Saya titipkan kamu sekalian kepada Allah... saya akan pergi”.
Dan setelah mengucapkan selamat tinggal kepada kawan-kawannya yang lain beliau menuju ke Sparte dengan mobil. Beliau tinggal di sana beberapa lama. Beliau mengimami murid-muridnya waktu sembahyang Isyak. Sembahyang Tarawih – karena waktu itu adalah awal bulan Ramadhan – diimami oleh muridnya yang bernama Tahiri Mutlu39
Kesehatan Ustadz semakin membaik sampai tanggal 10 Ramadhan. Setelah itu penyakitnya kambuh lagi dan panasnya bertambah naik.
Pada suatu hari beliau membuka kedua matanya dan berkata kepada murid-muridnya yang bergantian merawat beliau: “Kita akan pergi!!” ketika salah seorang muridnya bertanya: “Wahai Ustadz hendak kemana kita pergi?” “Ke Urfa. Bersiap-siaplah kalian!!”
Beberapa murid yakin bahwa Ustadz berbicara dalam keadaan sadar, karena tidak masuk akal beliau akan berpergian dalam kondisi yang demikian. Tambahan lagi mobil mereka sedang rusak dan perlu waktu untuk mereparasinya.
Mereka menanyakan hal itu sekali lagi kepada Ustadz dengan harapan Ustadz merubah pikirannya, akan tetapi Ustadz menjawab: “Siapkan mobil lain. Tidak bisakah kita membayarnya sebanyak dua lira? Saya siap menjual jubahku jika perlu”.
Karena ustadz zudah bertekad hati, maka murid-muridnya segera menyewa mobil lain. Ustadz masuk mobil dengan diboyong oleh murid-muridnya. Mobil pun berjalan menuju ke Urfa membaw Ustadz dan tiga orang muridnya.
39 Biram Yuksel menyebutkan di dalam kenang-kenangannya: “Ustadz menyebut saudara Tahiri Mutlu sebagai saudar tua dan pemimpin murid-murid an-Nur. Dan memang beliau mempunyai sifat-sufat yang jarang ada pada orang lain seperti; beliau berpuasa tiga bulan yang penuh sepanjang tiga puluh tahun, dan tidak pernah terlihat beliau solat witir setelah Isyak, karena beliau bangun malam, bertahajjud lalu baru berwitir. Beliau adalah perbendaharaan berharga bagi dakwah menurut murid-murid an-Nur. Beliau sangat patuh terhadap perintah Ustadz. Oleh karena itu, saya belum pernah mendengar Ustadz mengatakan sesuatu seperti yang dikatakannya kepada saudara Tahiri Mutlu. Ustadz berkata mengenainya: “Saudara Tahiri Mutlu adalah salah seorang wali Allah yang saleh. Ia tidak menganggap dirinya berada di dunia”. Dia pulang ke rahmatullah pada tahun 1977M dalam usia tujuh puluh tahun yang penuh dengan ketakwaan”. (Dari Son Sahitler Jilid 1 hal. 439)
Pada bulan Maret tahun yang sama beliau sakit kuat. Beliau sakit radang paru-paru. Dan pada tanggal 18 bulan yang sama sakitnya bertambah kuat sehingga beliau pengsan beberapa kali. Kemudian beliau tertidur, dan baru terjaga menjelang sembahyang Subuh. Beliau berwuduk dan menukar pakaiannya, seakan-akan telah sembuh dari penyakitnya. Beliau sembahyang Subuh kemudian memanggil murid-muridnya satu persatu. Beliau mengucapkan selamat tinggal dan berkata kepada mereka dengan berlinangan air mata: “Saya titipkan kamu sekalian kepada Allah... saya akan pergi”.
Dan setelah mengucapkan selamat tinggal kepada kawan-kawannya yang lain beliau menuju ke Sparte dengan mobil. Beliau tinggal di sana beberapa lama. Beliau mengimami murid-muridnya waktu sembahyang Isyak. Sembahyang Tarawih – karena waktu itu adalah awal bulan Ramadhan – diimami oleh muridnya yang bernama Tahiri Mutlu39
Kesehatan Ustadz semakin membaik sampai tanggal 10 Ramadhan. Setelah itu penyakitnya kambuh lagi dan panasnya bertambah naik.
Pada suatu hari beliau membuka kedua matanya dan berkata kepada murid-muridnya yang bergantian merawat beliau: “Kita akan pergi!!” ketika salah seorang muridnya bertanya: “Wahai Ustadz hendak kemana kita pergi?” “Ke Urfa. Bersiap-siaplah kalian!!”
Beberapa murid yakin bahwa Ustadz berbicara dalam keadaan sadar, karena tidak masuk akal beliau akan berpergian dalam kondisi yang demikian. Tambahan lagi mobil mereka sedang rusak dan perlu waktu untuk mereparasinya.
Mereka menanyakan hal itu sekali lagi kepada Ustadz dengan harapan Ustadz merubah pikirannya, akan tetapi Ustadz menjawab: “Siapkan mobil lain. Tidak bisakah kita membayarnya sebanyak dua lira? Saya siap menjual jubahku jika perlu”.
Karena ustadz zudah bertekad hati, maka murid-muridnya segera menyewa mobil lain. Ustadz masuk mobil dengan diboyong oleh murid-muridnya. Mobil pun berjalan menuju ke Urfa membaw Ustadz dan tiga orang muridnya.
39 Biram Yuksel menyebutkan di dalam kenang-kenangannya: “Ustadz menyebut saudara Tahiri Mutlu sebagai saudar tua dan pemimpin murid-murid an-Nur. Dan memang beliau mempunyai sifat-sufat yang jarang ada pada orang lain seperti; beliau berpuasa tiga bulan yang penuh sepanjang tiga puluh tahun, dan tidak pernah terlihat beliau solat witir setelah Isyak, karena beliau bangun malam, bertahajjud lalu baru berwitir. Beliau adalah perbendaharaan berharga bagi dakwah menurut murid-murid an-Nur. Beliau sangat patuh terhadap perintah Ustadz. Oleh karena itu, saya belum pernah mendengar Ustadz mengatakan sesuatu seperti yang dikatakannya kepada saudara Tahiri Mutlu. Ustadz berkata mengenainya: “Saudara Tahiri Mutlu adalah salah seorang wali Allah yang saleh. Ia tidak menganggap dirinya berada di dunia”. Dia pulang ke rahmatullah pada tahun 1977M dalam usia tujuh puluh tahun yang penuh dengan ketakwaan”. (Dari Son Sahitler Jilid 1 hal. 439)
No Voice