Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 73
(1-144)
USTADZ MENJELANG PENULISAN RISALAH-RISALAH
Ustadz Said Nursi menggambarkan keadaan jiwanya ketika berada di Istanbul dengan katanya:
“Tamparan keras mengenai kepala “Said Baru” yang lalai sejak tiga puluh tahun yang lalu...maka dia berfikir dalam masalah “kematian itu adalah benar”. Dia mendapati dirinya tenggelam di dalam lumpur...Dia minta tolong...dan mencari jalan serta mencari penyelamat yang membimbing tangannya...Dia melihat jalan di depannya bermacam-macam...Dia kebingungan di dalam perkara ini, maka dia mengambil buku “Futuhul Ghaib” (Menguak keghaiban) karangan Syaikh Abdul Kadir al-Kailani (r.a)42 dan membukanya dengan optimis. Dia mendapat kata-kata berikut di depannya:
“Engkau kini di Dar al-Hikmah, maka carilah seorang dokter untuk mengobati hatimmu...”
alangkah mengagumkannya! Saya waktu itu menjadi anggota di “Dar al-Hikamh al-Islamiyah”. Seolah-olah saya datang ke sana untuk mengobati luka umat Islam, padahal saya sendiri sedang sakit berat dan lebih layak untuk diobati daripada orang lain. Lebih baik bagi orang sakit untuk mengobati dirinya sebelum mengobati orang lain.
Ya, demikianlah kata Syaikh Abdul kadir al-Kailani kepadaku: Engkau sakit...carilah dokter yang mengobatimu!
Saya berkata : Jadilah engkau sebagai dokerku wahai Syaikh!
Saya lalu mulai membaca buku tersebut. Seolah-olah beliau berkata kepadaku langsung. Loghat beliau keras, menghantam sifat sombongku. Beliau mengoperasi jiwaku...sampai saya tidak tahan dan tidak sabar...karena saya menganggap kata-katanya itu hanya tertuju kepadaku.
Demikianlah saya membacanya hampir separuhnya. Saya tidak bisa merampungkannya. Saya letakkan buku tersebut ditempatnya. Kemudian saya rasakan bahwa rasa sakit akibat operasi tadi telah hilang dan berganti dengan rasa keenakan jiwa yang ajaib. Saya kembali lagi kepada beliau. Saya rampungkan membaca buku “Guruku yang pertama”. Saya mendapatkan banyak manfaat darinya. Saya menghabiskan masa berjam-jam bersamanya untuk mendengarkan wirid-wiridnya yang baik dan munajat yang lemah lembut.
Kemudian saya mendapatkan buku “Maktubat” (Tulisan-Tulisan) karangan Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, pembaharu abad kedua puluh.43 Saya sangat optimis mendapatkan kebaikan darinya. Saya membuka dan mendapati di dalamnya sesuatu yang ajaib...karena di dalam dua risalahnya saya mendapatkan kata: “Mirza Badiuzzaman”. Saya merasa seolah-olah beliau berkata-kata denganku dengan menyebut namaku, karena nama ayahku adalah Mirza dan kedua risalah tersebut ditujukan kepada Mirza Badiuzzaman. Kata saya:
“Tamparan keras mengenai kepala “Said Baru” yang lalai sejak tiga puluh tahun yang lalu...maka dia berfikir dalam masalah “kematian itu adalah benar”. Dia mendapati dirinya tenggelam di dalam lumpur...Dia minta tolong...dan mencari jalan serta mencari penyelamat yang membimbing tangannya...Dia melihat jalan di depannya bermacam-macam...Dia kebingungan di dalam perkara ini, maka dia mengambil buku “Futuhul Ghaib” (Menguak keghaiban) karangan Syaikh Abdul Kadir al-Kailani (r.a)42 dan membukanya dengan optimis. Dia mendapat kata-kata berikut di depannya:
“Engkau kini di Dar al-Hikmah, maka carilah seorang dokter untuk mengobati hatimmu...”
alangkah mengagumkannya! Saya waktu itu menjadi anggota di “Dar al-Hikamh al-Islamiyah”. Seolah-olah saya datang ke sana untuk mengobati luka umat Islam, padahal saya sendiri sedang sakit berat dan lebih layak untuk diobati daripada orang lain. Lebih baik bagi orang sakit untuk mengobati dirinya sebelum mengobati orang lain.
Ya, demikianlah kata Syaikh Abdul kadir al-Kailani kepadaku: Engkau sakit...carilah dokter yang mengobatimu!
Saya berkata : Jadilah engkau sebagai dokerku wahai Syaikh!
Saya lalu mulai membaca buku tersebut. Seolah-olah beliau berkata kepadaku langsung. Loghat beliau keras, menghantam sifat sombongku. Beliau mengoperasi jiwaku...sampai saya tidak tahan dan tidak sabar...karena saya menganggap kata-katanya itu hanya tertuju kepadaku.
Demikianlah saya membacanya hampir separuhnya. Saya tidak bisa merampungkannya. Saya letakkan buku tersebut ditempatnya. Kemudian saya rasakan bahwa rasa sakit akibat operasi tadi telah hilang dan berganti dengan rasa keenakan jiwa yang ajaib. Saya kembali lagi kepada beliau. Saya rampungkan membaca buku “Guruku yang pertama”. Saya mendapatkan banyak manfaat darinya. Saya menghabiskan masa berjam-jam bersamanya untuk mendengarkan wirid-wiridnya yang baik dan munajat yang lemah lembut.
Kemudian saya mendapatkan buku “Maktubat” (Tulisan-Tulisan) karangan Imam Rabbani Ahmad al-Faruqi as-Sirhindi, pembaharu abad kedua puluh.43 Saya sangat optimis mendapatkan kebaikan darinya. Saya membuka dan mendapati di dalamnya sesuatu yang ajaib...karena di dalam dua risalahnya saya mendapatkan kata: “Mirza Badiuzzaman”. Saya merasa seolah-olah beliau berkata-kata denganku dengan menyebut namaku, karena nama ayahku adalah Mirza dan kedua risalah tersebut ditujukan kepada Mirza Badiuzzaman. Kata saya:
No Voice