Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 74
(1-144)
“Subahanallah...beliau berkata kepadaku langsung, karena julukan Said yang lama adalah Badiuzzaman, dan meskipun saya tidak mengetahui ada seseorang yang terkenal dengan julukan ini selain “al-Hamdani” yang hidup pada abad keempat hijriyah, maka semestinya disana ada orang selainnya yang hidup sezaman dengan Imam Rabbni as-Sirhindi yang dipanggil dengan julukan ini, dan keadaanku tentu serupa dengan keadaannya sehingga saya mendapatkanobat di dalam dua risalah tersebut...
Imam rabbani berwasiat di dalam dua risalah ini dan risalah-risalah lainnya bahwa:
“Hendaklah engkau menyatukan kiblat”. Yakni: Ikutilah seorang imam dan petunjuk dan jangan sibuk dengan selainnya! Wasiat ini tidak cocok – pada waktu itu- dengan persiapanku dan keadaan jiwaku. Saya lalu merenungkannya lebih dalam:Yang mana saya ikuti; Apakah saya akan berjalan di belakang ini atau berjalan di belakang itu?
Saya sangat bingung sekali, karena masing-masing daripada keduanya mempunyai keistimewaan dan daya tarik. Oleh karena itu saya tidak bisa merasa cukup dengan salah satu dari keduanya.
Ketika saya masih dalam kebingungan yang hebat ini, tiba-tiba ada ilham dari Allah Ta’ala yang terdetik di dalam hatiku dan berseru kepadaku: “Permulaan semua jalan-jalan ini, dan sumber air semua parit-parit ini serta matahari semua planet-planet yang bergerak ini...tiada lain adalah “al-Quran al-Karim”. Jadi menyatukan kiblat yang sebenarnya tidak akan terjadi kecuali pada al-Quran al-Karim, karena al-Quran adalah setinggi-tinggi petunjuk dan semulia-mulia guru secara mutlak. Maka sejak hari itu saya tekun mempelajari al-Quran dan berpegang teguh kepadanya serta mencari pertolongan darinya. Jadi risalah “al-Kalimat” (Kata-kata) dan cahaya yang disarikan dari al-Quran al-karim (yakni Risalah-risalah an-Nur) bukan hanya masalah-masalah ilmiah saja, akan tetapi masalah hati, jiwa dan keadaan iman. Ia seperti ilmu ketuhanan yang berharga dan pengetahuan ketuhanan yang tinggi”.(65)
BAGAIMANA RISALAH-RISALAH AN-NUR DITULIS
Ketika menulis risalah-risalah an-Nur, tidak ada sebuah bahan rujukan pun disisi Ustadz Badiuzzaman selain al-Quran al-karim. Beliau hanya mencari ilham dari makna-makna sebuah ayat dan menghayati kondisi hati dan kejiwaan yang murni di dalam suasana ayat tersebut, lalu mendiktekan kepada murid-muridnya yang khusus bertugas sebagai penulis- dengan kecepatan yang luar biasa – apa yang dibukakan oleh Allah kepadanya dan apa yang terdetik di dalam hatinya daripada makna-makna ayat al-Quran tersebut.
Pikiran dan keterbukaan hati tersebut datang tidak mengenal waktu dan tempat. Oleh sebab itu, beliau senantiasa diiringi oelh murid-muirdnya siang dan malam. Beliau tidak membiarkan sebarang ilham atau ide melainkan didiktekannya kepada mereka dan mereka segera mencatatnyaa. Di samping itu, beliau juga menulis beberapa risalahnya sendiri, apalagi ketika beliau berada di penjara.
Mari kita dengarkan salah seorang muridnya yang khusus bertugas sebagai penulis dan merupakan penulis pertama risalah an-Nur: “Kami pergi bersama Ustadz ke tempat-tempat sunyi. Beliau duduk di suatu tempat dan memandang ke suatu titik tertentu. Beliau mendiktekan kepada saya dengan cepat dan saya pun menulisnya dengan cepat pula. Beliau memberi isyarat kepadaku supaya saya menulis dan beliau tidak mengalihkan pendangannya dari titik tumpuannya tersebut, kemudian beliau berkata: berhenti...kemudian beliau menyuruhku menulis lagi. Banyak risalah-risalah yang saya tulis dalam masa satu jam dan yang lainnya dalam masa dua jam. Saya bersumpah bahwa saya menghabiskan masa sehari atau dua hari untuk menyalin risalah yang telah saya tulis dalam masa satu atau dua jam tadi”.(66)
Imam rabbani berwasiat di dalam dua risalah ini dan risalah-risalah lainnya bahwa:
“Hendaklah engkau menyatukan kiblat”. Yakni: Ikutilah seorang imam dan petunjuk dan jangan sibuk dengan selainnya! Wasiat ini tidak cocok – pada waktu itu- dengan persiapanku dan keadaan jiwaku. Saya lalu merenungkannya lebih dalam:Yang mana saya ikuti; Apakah saya akan berjalan di belakang ini atau berjalan di belakang itu?
Saya sangat bingung sekali, karena masing-masing daripada keduanya mempunyai keistimewaan dan daya tarik. Oleh karena itu saya tidak bisa merasa cukup dengan salah satu dari keduanya.
Ketika saya masih dalam kebingungan yang hebat ini, tiba-tiba ada ilham dari Allah Ta’ala yang terdetik di dalam hatiku dan berseru kepadaku: “Permulaan semua jalan-jalan ini, dan sumber air semua parit-parit ini serta matahari semua planet-planet yang bergerak ini...tiada lain adalah “al-Quran al-Karim”. Jadi menyatukan kiblat yang sebenarnya tidak akan terjadi kecuali pada al-Quran al-Karim, karena al-Quran adalah setinggi-tinggi petunjuk dan semulia-mulia guru secara mutlak. Maka sejak hari itu saya tekun mempelajari al-Quran dan berpegang teguh kepadanya serta mencari pertolongan darinya. Jadi risalah “al-Kalimat” (Kata-kata) dan cahaya yang disarikan dari al-Quran al-karim (yakni Risalah-risalah an-Nur) bukan hanya masalah-masalah ilmiah saja, akan tetapi masalah hati, jiwa dan keadaan iman. Ia seperti ilmu ketuhanan yang berharga dan pengetahuan ketuhanan yang tinggi”.(65)
BAGAIMANA RISALAH-RISALAH AN-NUR DITULIS
Ketika menulis risalah-risalah an-Nur, tidak ada sebuah bahan rujukan pun disisi Ustadz Badiuzzaman selain al-Quran al-karim. Beliau hanya mencari ilham dari makna-makna sebuah ayat dan menghayati kondisi hati dan kejiwaan yang murni di dalam suasana ayat tersebut, lalu mendiktekan kepada murid-muridnya yang khusus bertugas sebagai penulis- dengan kecepatan yang luar biasa – apa yang dibukakan oleh Allah kepadanya dan apa yang terdetik di dalam hatinya daripada makna-makna ayat al-Quran tersebut.
Pikiran dan keterbukaan hati tersebut datang tidak mengenal waktu dan tempat. Oleh sebab itu, beliau senantiasa diiringi oelh murid-muirdnya siang dan malam. Beliau tidak membiarkan sebarang ilham atau ide melainkan didiktekannya kepada mereka dan mereka segera mencatatnyaa. Di samping itu, beliau juga menulis beberapa risalahnya sendiri, apalagi ketika beliau berada di penjara.
Mari kita dengarkan salah seorang muridnya yang khusus bertugas sebagai penulis dan merupakan penulis pertama risalah an-Nur: “Kami pergi bersama Ustadz ke tempat-tempat sunyi. Beliau duduk di suatu tempat dan memandang ke suatu titik tertentu. Beliau mendiktekan kepada saya dengan cepat dan saya pun menulisnya dengan cepat pula. Beliau memberi isyarat kepadaku supaya saya menulis dan beliau tidak mengalihkan pendangannya dari titik tumpuannya tersebut, kemudian beliau berkata: berhenti...kemudian beliau menyuruhku menulis lagi. Banyak risalah-risalah yang saya tulis dalam masa satu jam dan yang lainnya dalam masa dua jam. Saya bersumpah bahwa saya menghabiskan masa sehari atau dua hari untuk menyalin risalah yang telah saya tulis dalam masa satu atau dua jam tadi”.(66)
No Voice