Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 37
(1-357)
Tetesan Kelima
Ketahuilah bahwa di antara cahaya kemukjizatan Alquran sebagaimana yang telah kusebutkan dalam “benih” adalah bahwa ia menggabungkan antara kefasihan yang istimewa, keserasian yang kokoh, keterpaduan antar kalimat, serta harmoni antar ayat dan tujuannya lewat kesaksian ilmu bayan dan semantik. Meski turun selama kurun waktu dua puluh tahun secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dalam bentuk yang terpisah-pisah, namun ia sangat padu sehingga seolah-olah turun secara sekaligus dalam satu waktu. Meski turun dengan sebab-sebab yang berbeda, namun ia saling menguatkan sehingga seolah-olah sebabnya satu. Meski datang sebagai jawaban atas banyak pertanyaan yang beragam, ia demikian menyatu sehingga seolah-olah pertanyaannya satu. Meski merupakan penjelasan bagi banyak peristiwa hukum, namun ia demikian teratur sehingga seolah-olah peristiwanya satu. Meski turun dalam berbagai gaya bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman mitra bicara yang sangat berbeda-beda, namun ia sangat harmoni seolah-olah kondisinya sama. Meski datang berbicara kepada berbagai jenis manusia, namun ia sangat sederhana, rapi, dan jelas seolah-olah mitra bicaranya satu sehingga masing-masing merasa dirinya yang diajak bicara. Meski turun untuk mengantarkan kepada berbagai tujuan dakwah, namun ia sangat lurus dan seimbang seolah-olah tujuannya satu. Orang yang mata hatinya sehat, tentu akan mengetahui bahwa di dalam Alquran terdapat mata yang bisa melihat semua entitas alam yang tampak ataupun yang tersembunyi. Ia ibarat lembaran yang terang dan jelas yang bisa dibolak-balik sesuka hati serta maknanya bisa dikenali sesuai dengan kehendaknya.

Tetesan Keenam
Penjelasan bahwa Alquran tidak bisa dibandingkan dengan seluruh ucapan dan perkataan sebagaimana telah kusebutkan dalam risalah “tetesan”.
Perlu diketahui bahwa sumber ketinggian, kekuatan, ketepatan, dan keindahan ucapan ada empat: pembicara, mitra bicara, tujuan, dan kedudukannya. Jadi, ia tidak hanya sekedar kedudukan sebagaimana anggapan sebagian sastrawan. Lihatlah kepada siapa yang berbicara, kepada siapa pembicaraan ditujukan, apa yang dibicarakan, serta apa isi pembicaraannya. Jika pembicaraannya berupa perintah dan larangan, bisa jadi ia mencakup kehendak dan kemampuan sesuai dengan tingkatan pembicaranya.
Ya, bandingkanlah antara perintah yang tidak bernilai yang muncul dari angan-angan dimana ia tidak didengar dan perintah hakiki yang mengisyaratkan adanya kekuatan dan kehendak. Perhatikan bunyi firman Allah, “Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) berhentilah!” “Lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan suka hati.” Bandingkan dengan ucapan manusia yang sedang mengigau, “Wahai bumi, diamlah! Wahai langit terbelahlah! Wahai kiamat datanglah!”
No Voice