Nah, pada bulan Ramadhan yang penuh berkah, kaum beriman seketika menjadi seperti pasukan besar yang semuanya mengenakan selendang ubudiyah kepada Allah dan berada dalam posisi siap berbuka guna menyambut undangan ilahi, “Silahkan!” menuju jamuan-Nya yang mulia. Dengan kondisi tersebut, rahmat Tuhan yang mulia dan komprehensif itu mereka sambut dengan ubudiyah yang rapi dan agung. Apakah menurutmu mereka yang tidak ikut serta dalam ubudiyah mulia itu layak disebut sebagai manusia?
Catatan Kedua
Terdapat banyak hikmah yang di dalamnya puasa Ramadhan mengantarkan makhluk bersyukur terhadap berbagai nikmat Allah. Di antaranya:
Seperti yang disebutkan pada kalimat pertama, makanan yang dibawa oleh seorang pelayan dari dapur raja tentu sangat bernilai. Tentu sangat bodoh jika ada yang tidak menghargai makanan tersebut. Juga tidaklah mengenal pemberi yang sebenarnya jika malah si pelayan itu yang diberi hadiah dan balasan. Begitu pula dengan makanan dan nikmat tak terhingga yang Allah Swt hamparkan di muka bumi. Sudah pasti Dia menuntut harganya dari kita. Yaitu bersyukur kepada-Nya atas segala nikmat tadi. Sementara berbagai sebab lahiriah dan para pemiliknya hanya laksana para pelayan. Nah, Kita memberikan harganya kepada para pelayan serta berhutang budi kepada mereka. Bahkan kita menunjukkan rasa hormat dan terima kasih lebih dari yang semestinya. Padahal, Pemberi nikmat hakiki Yang layak mendapat puncak syukur, dan pujian daripada sebab-sebab. Jadi, mengungkapkan syukur kepada Allah adalah dengan menyadari bahwa nikmat tersebut secara langsung bersumber dari-Nya, menghargai nilainya, serta merasa butuh kepadanya.