Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 106
(1-144)
BERSAMA ILMU KALAM
Risalah-risalah an-Nur tidak meremehkan ilmu kalam dan tasawuf sebagai sumber pengetahuan – meskipun keduanya ada jarak jauh – hanya saja ia menganggap keduanya kurang jika dibentangkan di depan manhaj al-Quran al-karim. Banyak teks mengenai hal ini, akan tetapi kita nukilkan teks berikut ini saja:
“...Benar bahwa ma’rifat Allah yang disarikan dengan bukti-bukti ilmu kalam bukanlah pengetahuan yang sempurna dan tidak mendatangkan ketenangan hati, akan tetapi juka pengetahuan itu mengikuti manhaj al-Quran al-karim yang bermukjizat, niscaya ia akan menjadi pengatahuan yang lengkap dan memberikan ketenangan yang sempurna di dalam hati. Kami memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa supaya menjadikan bagian risalah-risalah an-Nur sebagai penyuluh yang menerangi jalan yang lurus yang penuh cahaya al-Quran al-karim.
Dan sebagaimana ma’rifat Allah yang timbul dari ilmu kalam itu tampak kurang dan terbatas, maka ma’rifat yang timbul dari jalan tasawuf pun demikian pula, kurang dan pincang dibanding dengan ma’rifat yang disarikan dari al-Quran al-karim secara langsung oleh para pewaris nabi.
Kami telah membuat perumpamaan di dalam “al-Kalimat”, yaitu salah satu risalah an-Nur, untuk menerangkan perbedaan antara orang-orang yang mencari jalan mereka dari al-Quran al-karim dengan orang-orang yang menempuh jalan para ulama ilmu kalam sebagai berikut:
Untuk mendapatkan air, ada orang yang mengambil air dengan paip dari tempat dalam yang ia gali di bawah gunung. Dan ada orang lain pula mendapatkan air di mana saja ia menggali dan memancarkan air di mana saja mereka berada. Orang pertama berjalan di jalan yang sukar dan panjang sedang airnya kadnag-kadang terputus atau sedikit. Inilah jalannya ulama ilmu kalam. Mereka membuktikan wajib al-wujud dengan kemustahilan perputaran dan peredaran yang tanpa akhir.
Sedang manhaj al-Quran al-karim, ia mendapatkan air dan memancarkannya di setiap tempat dengan mudah sekali, karena setiap ayatnya yang agung memancarkan air di mana saja dipukul – sebagaimana tongkat Musa – sambil membacakan:
“Di dalam segala sesuatu, Dia mempunyai tanda bahwa Dia adalah Esa”
...kemudian iman itu tidak diperolehi dengan ilmu saja, karena di sana banyak aspek manusia yang mempunyai bagian iman. Sebagaimana makanan itu jika masuk ke dalam perut, ia akan terpencar dan terpisah ke pelbagai urat sesuai dengan setiap anggota, demikian pula masalah-masalah keimanan yang datang dari jalan ilmu. Jika ia masuk ke akal dan pemahaman, maka setiap aspek badan – seperti jiwa, hati, rahasia, nafsu dan lainnya – mengambil bagiannya daripadanya dan menghisapnya sesuai dengan kadarnya. Jika sesuatu aspek kekurangan makanan, berarti ma’rifatnya kurang dan pincang dan aspek tersebut akan terus terhalang daripadanya”. (100)
Dari sini bisa kita katakan bahwa risalah-risalah an-Nur telah membentangkan jalan baru dalam ilmu kalam, bahkan ia benar-benar “ilmu kalam al-Qurani”70 – jika bisa disebut demikian -, karena anda melihat cara pembentangan al-Quran dalam masalah-masalah kewujudan Allah Taala, keesan, kenabian, akhirat, qadha dan qadar dengan bentuk jelas sekali. Ia berbicara dengan hati , pikiran, akal dan khayal manusia, dan bahkan seluruh aspeknya, dan bukannya terbatas kepada akal atau perasaan saja. Ia juga memberikan contoh nyata yang dapat dirasakan dari realitas seorang individu dan lingkungannya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, diri manusia dan seterusnya.
Kemudian risalah-risalah an-Nur tidak mengumpulkan ayat-ayat metashabihat di dalam satu judul atau satu tempat, akan tetapi tafsirannya terpencar pada semua risalah, dan ini adalah cara al-Quran.
Risalah-risalah an-Nur tidak meremehkan ilmu kalam dan tasawuf sebagai sumber pengetahuan – meskipun keduanya ada jarak jauh – hanya saja ia menganggap keduanya kurang jika dibentangkan di depan manhaj al-Quran al-karim. Banyak teks mengenai hal ini, akan tetapi kita nukilkan teks berikut ini saja:
“...Benar bahwa ma’rifat Allah yang disarikan dengan bukti-bukti ilmu kalam bukanlah pengetahuan yang sempurna dan tidak mendatangkan ketenangan hati, akan tetapi juka pengetahuan itu mengikuti manhaj al-Quran al-karim yang bermukjizat, niscaya ia akan menjadi pengatahuan yang lengkap dan memberikan ketenangan yang sempurna di dalam hati. Kami memohon kepada Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Kuasa supaya menjadikan bagian risalah-risalah an-Nur sebagai penyuluh yang menerangi jalan yang lurus yang penuh cahaya al-Quran al-karim.
Dan sebagaimana ma’rifat Allah yang timbul dari ilmu kalam itu tampak kurang dan terbatas, maka ma’rifat yang timbul dari jalan tasawuf pun demikian pula, kurang dan pincang dibanding dengan ma’rifat yang disarikan dari al-Quran al-karim secara langsung oleh para pewaris nabi.
Kami telah membuat perumpamaan di dalam “al-Kalimat”, yaitu salah satu risalah an-Nur, untuk menerangkan perbedaan antara orang-orang yang mencari jalan mereka dari al-Quran al-karim dengan orang-orang yang menempuh jalan para ulama ilmu kalam sebagai berikut:
Untuk mendapatkan air, ada orang yang mengambil air dengan paip dari tempat dalam yang ia gali di bawah gunung. Dan ada orang lain pula mendapatkan air di mana saja ia menggali dan memancarkan air di mana saja mereka berada. Orang pertama berjalan di jalan yang sukar dan panjang sedang airnya kadnag-kadang terputus atau sedikit. Inilah jalannya ulama ilmu kalam. Mereka membuktikan wajib al-wujud dengan kemustahilan perputaran dan peredaran yang tanpa akhir.
Sedang manhaj al-Quran al-karim, ia mendapatkan air dan memancarkannya di setiap tempat dengan mudah sekali, karena setiap ayatnya yang agung memancarkan air di mana saja dipukul – sebagaimana tongkat Musa – sambil membacakan:
“Di dalam segala sesuatu, Dia mempunyai tanda bahwa Dia adalah Esa”
...kemudian iman itu tidak diperolehi dengan ilmu saja, karena di sana banyak aspek manusia yang mempunyai bagian iman. Sebagaimana makanan itu jika masuk ke dalam perut, ia akan terpencar dan terpisah ke pelbagai urat sesuai dengan setiap anggota, demikian pula masalah-masalah keimanan yang datang dari jalan ilmu. Jika ia masuk ke akal dan pemahaman, maka setiap aspek badan – seperti jiwa, hati, rahasia, nafsu dan lainnya – mengambil bagiannya daripadanya dan menghisapnya sesuai dengan kadarnya. Jika sesuatu aspek kekurangan makanan, berarti ma’rifatnya kurang dan pincang dan aspek tersebut akan terus terhalang daripadanya”. (100)
Dari sini bisa kita katakan bahwa risalah-risalah an-Nur telah membentangkan jalan baru dalam ilmu kalam, bahkan ia benar-benar “ilmu kalam al-Qurani”70 – jika bisa disebut demikian -, karena anda melihat cara pembentangan al-Quran dalam masalah-masalah kewujudan Allah Taala, keesan, kenabian, akhirat, qadha dan qadar dengan bentuk jelas sekali. Ia berbicara dengan hati , pikiran, akal dan khayal manusia, dan bahkan seluruh aspeknya, dan bukannya terbatas kepada akal atau perasaan saja. Ia juga memberikan contoh nyata yang dapat dirasakan dari realitas seorang individu dan lingkungannya seperti tumbuh-tumbuhan, binatang, diri manusia dan seterusnya.
Kemudian risalah-risalah an-Nur tidak mengumpulkan ayat-ayat metashabihat di dalam satu judul atau satu tempat, akan tetapi tafsirannya terpencar pada semua risalah, dan ini adalah cara al-Quran.
No Voice