Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 108
(1-144)
“Saya mengkhayalkan jika syaikh Abdul Kadir al-kailani, an-Naqsyabandi71 dan Imam Rabbani dan aqtab iman lain seumpama mereka itu hidup di zaman kita ini, niscaya mereka akan mengerahkan semua usaha merka untuk memperkuat hekekat-hakekat keimanan dan akidah Islamiah. Yang demikian itu karena sumber kebahagiaan yang abadi ada pada keduanya, dan sebarang kekurangan pada keduanya berarti kesengsaraan yang abadi. Karena tidak mungkin masuk sorga tanpa iman. Sedang di sana banyak orang masuk sorga tanpa tasawuf. Manusia tidak mungkin hidup tanpa roti, akan tetapi dia bisa hidup tanpa buah-buahan.
Tasawuf adalah buah, sedang hakekat-hakekat Islam adalah roti. Dan karena naik kepada hakekat-hakekat keimanan dengan perjalanan dan suluk itu memakan waktu selama empat puluh hari sampai empat puluh tahun, maka tidak masuk akal orang itu tidak memperhatikan jalan – jika ada pada waktu sekarang – yang menyampaikan kepada hakekat-hakekat tersebut dalam masa empat puluh menit saja!
Ya, orang yang membaca tiga puluh tiga “al-kalimah” dari buku Sozler (al-Kalimat) dengan tekun dan penuh perhatian mengakui hal ini”. (102)
Kemudian anda melihat di dalam risalah-risalah an-Nur ada perbandingan yang diadakan di antara buku-buku tasawuf dengan risalah-risalah an-Nur. Yang pertama menggambarkan perasaan dan limpahan kurnia bagi orang yang naik sampai derajat para wali, sedang yang kedua berbicara dengan manusia dan memperlihatkan kepadanya hakekat-hakekat iman serta menggesanya untuk menyelamatkan imannya yang di dalamnya itulah letak kebahagiaannya.
“Buku-buku dan karangann-karangan yang terdahulu mengatakan: “jadilah seorang wali kemudian naiklah ke maqamat dan deraja. Lalu lihatlah dan ambillah limpahan kurnia.”Sedang risalah-risalah an-Nur mengatakan:”Jadilah siapa saja yang kamu kehendaki dan bukalah kedua matamu.Lihatlah dan saksikanlah hakekat dan selamatkanlah imanmu yang merupakan kunci kebahagiaan abadimu”(103). Oleh sebab itu risalah-risalah an-Nur adalah untuk semua peringkat, berbeda dengan buku-buku tasawuf yang terbatas untuk kelompok tertentu.
Risalah-risalah an-Nur juga menarik perhatian kepada perbedaan murid an-Nur dan murid Sufi. Yang pertama mempunyai hujah dan bukti-bukti yang dengannya ia bisa menyerang dunia, sedang yang lainnya mempunyai qana’ah pribadi dan kepribadian karena “menerima perkataan orang-orang besar tidak menimbulkan keyakinan dan kepastian – di dalam ilmu logika – tanpa bukti, akan tetapi mungkin menjadi perkara yang diterima oleh manusia dengan sangkaan yang kuat. Adapun bukti yang hakiki – sebagaimana di dalam ilmu logika itu tidak melihat kepada kedudukan orang yang berkata akan tetapi kepada bukti yang tidak cacat.
Semua hujah risalah-risalah an-Nur adalah termasuk kedalam golongan ini, yakni bukti yang yakin, dan bahwa apa yang dilihat oleh ahli kewalian tasawuf seperti hakekat di dalam kerja ibadah, suluk, latihan rohani dan apa yang mereka saksika seperti hakekat-hakekat keimanan di belakang tabir, maka risalah-risalah an-Nur juga seperti mereka. Hanya saja dalam bidang ilmu, ia telah membuka jalan kepada hakekat melalui ilmu, dan dalam bidang suluk dan wirid-wirid ia telah membuka jalan kepada intinya hakekat melalui bukti-bukti logis dan hujah akal, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat yang telah membuka jalan “al-wilayah al-Kubra” (Kewalian Terbesar) melalui ilmu kalam dan ilmu akidah serta usuluddin. Dengan demikian ia telah menang atas kesesatan falsafah kontemporer dan mengalahkannya pada waktu arus hakekat dan tarekat mundur dalam menghadapinya”(104)
Tasawuf adalah buah, sedang hakekat-hakekat Islam adalah roti. Dan karena naik kepada hakekat-hakekat keimanan dengan perjalanan dan suluk itu memakan waktu selama empat puluh hari sampai empat puluh tahun, maka tidak masuk akal orang itu tidak memperhatikan jalan – jika ada pada waktu sekarang – yang menyampaikan kepada hakekat-hakekat tersebut dalam masa empat puluh menit saja!
Ya, orang yang membaca tiga puluh tiga “al-kalimah” dari buku Sozler (al-Kalimat) dengan tekun dan penuh perhatian mengakui hal ini”. (102)
Kemudian anda melihat di dalam risalah-risalah an-Nur ada perbandingan yang diadakan di antara buku-buku tasawuf dengan risalah-risalah an-Nur. Yang pertama menggambarkan perasaan dan limpahan kurnia bagi orang yang naik sampai derajat para wali, sedang yang kedua berbicara dengan manusia dan memperlihatkan kepadanya hakekat-hakekat iman serta menggesanya untuk menyelamatkan imannya yang di dalamnya itulah letak kebahagiaannya.
“Buku-buku dan karangann-karangan yang terdahulu mengatakan: “jadilah seorang wali kemudian naiklah ke maqamat dan deraja. Lalu lihatlah dan ambillah limpahan kurnia.”Sedang risalah-risalah an-Nur mengatakan:”Jadilah siapa saja yang kamu kehendaki dan bukalah kedua matamu.Lihatlah dan saksikanlah hakekat dan selamatkanlah imanmu yang merupakan kunci kebahagiaan abadimu”(103). Oleh sebab itu risalah-risalah an-Nur adalah untuk semua peringkat, berbeda dengan buku-buku tasawuf yang terbatas untuk kelompok tertentu.
Risalah-risalah an-Nur juga menarik perhatian kepada perbedaan murid an-Nur dan murid Sufi. Yang pertama mempunyai hujah dan bukti-bukti yang dengannya ia bisa menyerang dunia, sedang yang lainnya mempunyai qana’ah pribadi dan kepribadian karena “menerima perkataan orang-orang besar tidak menimbulkan keyakinan dan kepastian – di dalam ilmu logika – tanpa bukti, akan tetapi mungkin menjadi perkara yang diterima oleh manusia dengan sangkaan yang kuat. Adapun bukti yang hakiki – sebagaimana di dalam ilmu logika itu tidak melihat kepada kedudukan orang yang berkata akan tetapi kepada bukti yang tidak cacat.
Semua hujah risalah-risalah an-Nur adalah termasuk kedalam golongan ini, yakni bukti yang yakin, dan bahwa apa yang dilihat oleh ahli kewalian tasawuf seperti hakekat di dalam kerja ibadah, suluk, latihan rohani dan apa yang mereka saksika seperti hakekat-hakekat keimanan di belakang tabir, maka risalah-risalah an-Nur juga seperti mereka. Hanya saja dalam bidang ilmu, ia telah membuka jalan kepada hakekat melalui ilmu, dan dalam bidang suluk dan wirid-wirid ia telah membuka jalan kepada intinya hakekat melalui bukti-bukti logis dan hujah akal, dalam bidang ilmu tasawuf dan tarekat yang telah membuka jalan “al-wilayah al-Kubra” (Kewalian Terbesar) melalui ilmu kalam dan ilmu akidah serta usuluddin. Dengan demikian ia telah menang atas kesesatan falsafah kontemporer dan mengalahkannya pada waktu arus hakekat dan tarekat mundur dalam menghadapinya”(104)
No Voice