Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 114
(1-144)
Setelah menyebutkan mukadimah yang mengagumkan ia mengatakan: “Jika anda telah memahami mukadimah ini, maka marilah masuk kepada hakekat. Ketahuilah bahwa di dalam sejarah kemanusiaan – sejak zaman Adam (a.s) – ada dua arus besar yang wujud hingga zaman kita ini, dan dua silsilah pemikiran yang telah bercabang kepada semua peringkat manusia dan golongannya. Seolah-olah keduanya adalah dua pohon besar. Yang satu silsilah kenabian dan agama. Sedang yang lain adalah silsilah falsafah dan hikmah. Setiap kali kedua silsilah ini bercampur, yakni bahwa falsafah itu patuh dan tunduk kepada agama, maka masyarakat manusia akan hidup dengan baik dan bahagia, dan setiap kali keduanya berpisah, maka semua kebaikan dan cahaya akan berkumpul di sekitar kenabian dan agama, sedang kejahatan dan kesesatan akan bergabung di sekitar silsilah falsafah. Oleh karena itu, kita harus mendapatkan tempat tumbuhnya kedua silsilah ini...” (114)
Kemudian rinciannya dibentangkan dengan disertai perbandingan antara dua silsilah tersebut, lalu dikatakan: “...ya, yang menyusui Fir’aun-Fir’aun dan Namrud-Namrud dan menjadi sebab timbulnya mereka adalah falsafah lama Mesir dan Babil yang mencapai peringkat sihir...Demikian pula yang menegakkan ribuan tuhan di dalam pikiran orang-orang Yunani dahulu dan melahirkan berhala-berhala ialah rawa falsafah alam dan lumpurnya...Ya, orang yang tidak melihat cahaya Allah karena salah satu sebab alam, ia akan menjadikan segala sesuatu sebagai tuhan dan menjadikan penguasa atas dirinya”(115)
Seterusnya orang yang ingin membahas judul falsafah haruslah menunjukkan pendapatnya tentang para failasuf dan penyair yang tampak di dalam sejarah Islam dan yang terpikat dengan falsafah Yunani. Lalu bagaimana pendapat risalah-risalah an-Nur terhadap mereka? Hal itu disebutkan di dalam risalah “Ana” sebagai berikut:
“Para tokoh Islam yang bijaksana lagi cerdik pandai seperti Ibnu Sina, Farabi dan lainnya merendahkan orang-orang yang terpikat dengan falsafah yang hancur asas-asasnya ini dan dari orang-orang yang terpedaya dengan kilauannya serta berada di dalam barisannya, bahwa orang-orang tersebut tidak mencapai derajat iman paling rendah bagi seorang mukmin biasa. Demikian pula, orang-orang itu tidak dihukumi oleh Imam Ghazali – padahal beliau adalah Hujjah al-Islam – bahwa mereka telah mendapatkan derajat tersebut. Dan bahwa para imam Mu’tazilah yang terdiri dari para ulama yang luas pengetahuannya dalam ilmu kalam, mereka itu juga terpedaya dengan falsafah dan hiasannya. Dan mereka mempererat hubungannya dengan metode itu sehingga mereka menghukumi akal, sehingga mereka tidak bisa naik kecuali kepada derajat Mukmin permulaan yang masih fasiq. Demikian pula Abu al-A’la al-Ma’arri, salah seorang penyair terkenal kaum Muslimin dan terkenal dengan pesimisme dan putus asanya, dan Umar al-Khayyam yang terkenal dengan rengekan, tangisan dan jeritannya, karena keduanya menempuh jalan falsafah dan bersedap-sedapan dengan jalan hawa nafsu, maka jiwa ini menampar keduanya dengan penghinaan dan menuduh keduanya kafir, zindiq dan sesat”.(116)
No Voice