Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 115
(1-144)
Dan di dalam nota kaki risalah tersebut Ustadz menjawab pertanyaan berikut dengan tegas:
“Jika kamu mengatakan: Siapa sebenarnya kamu ini sehingga berani memasuki medan dan berhadapan dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Aristotles dan Plato serta ikut campur di dalam penerbangan burung helang padahal kamu hanya seperti lalat?
Maka saya mengatakan: Selagi al-Quran itu ustadzku yang abadi dan pembimbingku di jalan kebenaran, maka saya tidak terpaksa untuk memperhatikan burung helang mereka berupa murid-murid falsafah yang kotor dengan kesesatan dan akal yang diliputi dengan waham. Meskipun saya lebih rendah daripada mereka, akan tetapi ustadz mereka itu jauh lebih rendah derajatnya daripada ustadzku. Dengan keutamaan ustadzku yang kekal dan dengan himmahnya, kaki saya tidak basah dengan bahan yang mereka tenggelam di dalamnya”.(117)
Demikianlah anda melihat di dalam risalah ini dan di dalam semua risalah an-Nur keustadzan al-Quran dan manhajnya yang bijaksana di dalam segala perkara. Dan pada akhir risalah ini tampaklah kesukaran sampai kepada hakekat melalui jalan falsafah atau melalui jalan akal semata-mata, dan kemudahan hal itu dengan manhaj al-Quran. Semua itu dengan gaya bahasa yang indah.
Adapun mengenai para failasuf modern dan teori kebendaan modern, tidak syak lagi akar-akarnya yang asli bersandar pada falsafah kebendaan yang lama. Dan karena risalah-risalah an-Nur telah membuktikan kebatilan dan kerancuan akar-akar tersebut, maka tidak perlu lagi membataskan judul ini pada falsafah tertentu.
Demikianlah, di dalam risalah-risalah an-Nur, anda tidak mendapati nama Kent, Nietzsche dan lainnya, dan anda tidak mendapati teori Darwin dan orang-orang lain yang menghembuskan racun di dalam akal generasi zaman ini dengan teori-teori buruk mereka. Akan tetapi anda membaca dengan terperinci bukti-bukti memuaskan dan kuat sekali untuk menghancurkan sebarang ide atau teori yang bersandar kepada sebab-sebab kebendaan dan alam yang terjadi tiba-tiba, serta hujah dan dalil-dalil untuk membuktikan keesaan dan yang menguasai alam. Itu semua di dalam risalah “ath-Thabi’ah” dan di dalam pembahasan “Huwa Allah” (Dialaj Allah)(118) yang merupakan pedang tajam dan pemukul hebat atas kepala orang-orang yang sesat dan kafir dari kalangan orang-orang yang bersifat kebendaan dan pura-pura menjadi failasuf.
METODE PEMBUKTIAN
Tidak mungkin sesuatu itu disebutkan di dalam risalah-risalah an-Nur kecuali dengan – atau sebelumnya – telah disebutkan bukti dan dalil untuk menetapkannya, baik dalil tersebut dalil syar’i atau dalil akal atau fitrah atau kadang-kadang bersandarkan – sebagai tambahan di atas – kepada perkataan para tokoh pembaharu atau kepada contoh yang memuaskan sehingga pembaca tenteram dengan apa yang ada di dalam semua risalah an-Nur. Dan barangkali inilah rahasia mengapa ia bisa membungkan orang-orang yang ingkar.
Adapun caranya mengambil ayat-ayat al-Quran atau hadis atau sebarang kaedah syar’i sebagai bukti ialah, dengan mempersiapkan akal dan jiwa dahulu untuk menerima dalil syar’i tersebut dengan benar, dan bukan sebaliknya yaitu menyebutkan ayat atau hadis lalu baru menerangkan secara panjang lebar.
“Jika kamu mengatakan: Siapa sebenarnya kamu ini sehingga berani memasuki medan dan berhadapan dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Aristotles dan Plato serta ikut campur di dalam penerbangan burung helang padahal kamu hanya seperti lalat?
Maka saya mengatakan: Selagi al-Quran itu ustadzku yang abadi dan pembimbingku di jalan kebenaran, maka saya tidak terpaksa untuk memperhatikan burung helang mereka berupa murid-murid falsafah yang kotor dengan kesesatan dan akal yang diliputi dengan waham. Meskipun saya lebih rendah daripada mereka, akan tetapi ustadz mereka itu jauh lebih rendah derajatnya daripada ustadzku. Dengan keutamaan ustadzku yang kekal dan dengan himmahnya, kaki saya tidak basah dengan bahan yang mereka tenggelam di dalamnya”.(117)
Demikianlah anda melihat di dalam risalah ini dan di dalam semua risalah an-Nur keustadzan al-Quran dan manhajnya yang bijaksana di dalam segala perkara. Dan pada akhir risalah ini tampaklah kesukaran sampai kepada hakekat melalui jalan falsafah atau melalui jalan akal semata-mata, dan kemudahan hal itu dengan manhaj al-Quran. Semua itu dengan gaya bahasa yang indah.
Adapun mengenai para failasuf modern dan teori kebendaan modern, tidak syak lagi akar-akarnya yang asli bersandar pada falsafah kebendaan yang lama. Dan karena risalah-risalah an-Nur telah membuktikan kebatilan dan kerancuan akar-akar tersebut, maka tidak perlu lagi membataskan judul ini pada falsafah tertentu.
Demikianlah, di dalam risalah-risalah an-Nur, anda tidak mendapati nama Kent, Nietzsche dan lainnya, dan anda tidak mendapati teori Darwin dan orang-orang lain yang menghembuskan racun di dalam akal generasi zaman ini dengan teori-teori buruk mereka. Akan tetapi anda membaca dengan terperinci bukti-bukti memuaskan dan kuat sekali untuk menghancurkan sebarang ide atau teori yang bersandar kepada sebab-sebab kebendaan dan alam yang terjadi tiba-tiba, serta hujah dan dalil-dalil untuk membuktikan keesaan dan yang menguasai alam. Itu semua di dalam risalah “ath-Thabi’ah” dan di dalam pembahasan “Huwa Allah” (Dialaj Allah)(118) yang merupakan pedang tajam dan pemukul hebat atas kepala orang-orang yang sesat dan kafir dari kalangan orang-orang yang bersifat kebendaan dan pura-pura menjadi failasuf.
METODE PEMBUKTIAN
Tidak mungkin sesuatu itu disebutkan di dalam risalah-risalah an-Nur kecuali dengan – atau sebelumnya – telah disebutkan bukti dan dalil untuk menetapkannya, baik dalil tersebut dalil syar’i atau dalil akal atau fitrah atau kadang-kadang bersandarkan – sebagai tambahan di atas – kepada perkataan para tokoh pembaharu atau kepada contoh yang memuaskan sehingga pembaca tenteram dengan apa yang ada di dalam semua risalah an-Nur. Dan barangkali inilah rahasia mengapa ia bisa membungkan orang-orang yang ingkar.
Adapun caranya mengambil ayat-ayat al-Quran atau hadis atau sebarang kaedah syar’i sebagai bukti ialah, dengan mempersiapkan akal dan jiwa dahulu untuk menerima dalil syar’i tersebut dengan benar, dan bukan sebaliknya yaitu menyebutkan ayat atau hadis lalu baru menerangkan secara panjang lebar.
No Voice