Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 116
(1-144)
Cara baru risalah-risalah an-Nur ini – khususnya di zaman kita ini – patut disanjung, karena kebanyakan akal dan jiwa telah terwarnai dengan pendapat-pendapat falsafah kebendaan dan hati pun telah kotor dengan banyak maksiat sehingga menghalang manusia dari mengetahui maksud-maksud ayat atau hadis atau dalil syari’i lainnya. Oleh sebab itu kita tidak melihat banyak pengambilan bukti dari ayat atau hadis kecuali setelah diberi pendahuluan yang menuntun jiwa, akal dan roh.
Risalah-risalah an-Nur juga mendidik pembaca supaya mampu mengetahui dalil dan menimbang perkataan yang dibaca dan didengar dengan timbangan Islam. Katanya:
“Tidak ada orang yang menyifati dirinya sebagai perusak, bahkan seringkali perusak itu menunjukkan dirinya sebagai orang yang saleh dan benar. Ya, ada perumpamaan yang populer yaitu: “Tidak ada orang mengatakan kepada dadihnya masam”. Maka kalian harus memeriksa setiap perkataan yang kalian dengar. Janganlah menerima sebarang perkataan tanpa memeriksa dan mengujinya, karena perkataan yang merusak itu laris di zaman kita ini. Sampai perkataanku ini juga, jangan kalian terima begitu saja – berdasarkan baik sangka kalian terhadap diriku – akan tetapi biarkan semua perkataan itu berada di dalam pikiran kalian terhadap diriku -, akan tetapi biarkan semua perkataan itu berada di dalam pinggiran pikiran kalian sehingga jika ia lulus dalam ujian dan tampak kebenarannya dan tampak tambang emasnya, maka pada waktu itu simpanlah ia di dalam hati. Akan tetapi jika ia hanya berupa karat – dan dari tambang murahan – maka lemparkanlah ia ke tanah tanpa merasa sayang lagi”. (119)
Adapun metode risalah-risalah an-Nur dalam memberikan bukti-bukti, maka lebih baik jika kita memetik apa yang berlangsung di dalam pertemuan para mahasiswa pasca sarjana an-Nur di Collen, Jerman Barat, pada bulan April 1979M yang bisa dianggap ringkasan judul kita.
Ustadz Said Nursi – semoga Allah merahmatinya – telah memfokuskan segala usahanya untuk menerangkan hakekat iman yang menimbulkan ketenangan pada individu dan kebahagiaan pada masyarakat, daripada hanya mengemukakan sifat-sifat sosial yang tidak bisa dipraktekkan.
Oleh sebab itu, risalah-risalah an-Nur mengalihkan perhatian kepada masalah-masalah penting dan yang diterima dalam agama yang tidak terpengaruh oleh kemajuan zaman atau penemuan-penemuan ilmiah. Maka ia menerangkan masalah-masalah dan memerincinya dari sudut ini, baik dalam bidang akidah atau dalam bidang sosial, karena iman itu – sebagaimana didefinisikan sendiri oleh Ustadz – adalah cahaya yang timbul dari pembenaran terhadap hal-hal yang penting dalam agama secara rinci dan terhadap hal-hal lainnya secara global. Dari sini maka batu asasi dalam risalah-risalah an-Nur adalah hakekat-hakekat keimanan.
Dan kita bisa memperhatikan sebab risalah-risalah an-Nur memilih metode ini dari kata-kata Ustadz sendiri di dalam risalah “Isyarat al-I’jaz”:
Sebagaimana indikasi api terhadap asap – yang merupakan indikasi pemberi kesan terhadap kesan – dinamakan bukti “al-limmi”, maka demikian pula indikasi asap terhadap api – yakni indikasi kesan terhdap pemberi kesan – dinamakan bukti “al-anni”,77 dan bukti al-anni ini lebih selamat dari keraguan”.
“Tidak ada orang yang menyifati dirinya sebagai perusak, bahkan seringkali perusak itu menunjukkan dirinya sebagai orang yang saleh dan benar. Ya, ada perumpamaan yang populer yaitu: “Tidak ada orang mengatakan kepada dadihnya masam”. Maka kalian harus memeriksa setiap perkataan yang kalian dengar. Janganlah menerima sebarang perkataan tanpa memeriksa dan mengujinya, karena perkataan yang merusak itu laris di zaman kita ini. Sampai perkataanku ini juga, jangan kalian terima begitu saja – berdasarkan baik sangka kalian terhadap diriku – akan tetapi biarkan semua perkataan itu berada di dalam pikiran kalian terhadap diriku -, akan tetapi biarkan semua perkataan itu berada di dalam pinggiran pikiran kalian sehingga jika ia lulus dalam ujian dan tampak kebenarannya dan tampak tambang emasnya, maka pada waktu itu simpanlah ia di dalam hati. Akan tetapi jika ia hanya berupa karat – dan dari tambang murahan – maka lemparkanlah ia ke tanah tanpa merasa sayang lagi”. (119)
Adapun metode risalah-risalah an-Nur dalam memberikan bukti-bukti, maka lebih baik jika kita memetik apa yang berlangsung di dalam pertemuan para mahasiswa pasca sarjana an-Nur di Collen, Jerman Barat, pada bulan April 1979M yang bisa dianggap ringkasan judul kita.
Ustadz Said Nursi – semoga Allah merahmatinya – telah memfokuskan segala usahanya untuk menerangkan hakekat iman yang menimbulkan ketenangan pada individu dan kebahagiaan pada masyarakat, daripada hanya mengemukakan sifat-sifat sosial yang tidak bisa dipraktekkan.
Oleh sebab itu, risalah-risalah an-Nur mengalihkan perhatian kepada masalah-masalah penting dan yang diterima dalam agama yang tidak terpengaruh oleh kemajuan zaman atau penemuan-penemuan ilmiah. Maka ia menerangkan masalah-masalah dan memerincinya dari sudut ini, baik dalam bidang akidah atau dalam bidang sosial, karena iman itu – sebagaimana didefinisikan sendiri oleh Ustadz – adalah cahaya yang timbul dari pembenaran terhadap hal-hal yang penting dalam agama secara rinci dan terhadap hal-hal lainnya secara global. Dari sini maka batu asasi dalam risalah-risalah an-Nur adalah hakekat-hakekat keimanan.
Dan kita bisa memperhatikan sebab risalah-risalah an-Nur memilih metode ini dari kata-kata Ustadz sendiri di dalam risalah “Isyarat al-I’jaz”:
Sebagaimana indikasi api terhadap asap – yang merupakan indikasi pemberi kesan terhadap kesan – dinamakan bukti “al-limmi”, maka demikian pula indikasi asap terhadap api – yakni indikasi kesan terhdap pemberi kesan – dinamakan bukti “al-anni”,77 dan bukti al-anni ini lebih selamat dari keraguan”.
No Voice