Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 34
(1-144)
Di antara rangkaian menerangi Islam adalah penangkapan Ustadz Badiuzzaman Said Nursi, seorang ulama yang warak dan sedang beribadah sepenuh masa. Beliau lalu diasingkan di Barla, yaitu sebuah kota kecil dan jauh, supaya popularitis beliau redup, pengaruhnya hilang dan dilupakan orang, sehingga keringlah sumber Islam yang
mencurah ini.
Akan tetapi Allah Taala justru mengkehendaki kota kecil ini menjadi sumber sinar Islam yang menerangi seloroh pelusuk Turki pada masa-masa selanjutnya. Sinarnya sampai di setiap desa, setiap kota dan setiap pelosok negara.
Di sana ada mata air di depan rumah kecil – airnya mengalir pada waktu musim panas dan dingin – sebagaimana terdapat di sana pohon pesawat (sycamore) yang besar, berdiri tegak di depan rumah. Pada waktu musim bunga dan panas, ribuan burung kecil menyanyi di atas dahan-dahannya yang banyak.
Seorang tukang kayu membuat sebuah kamar kecil dari kayu tanpa atap di atas pohon pesawat (sycamore) yang besar tersebut. Ustadz Badiuzzaman banyak menghabiskan masanya di situ pada musim bunga dan panas untuk beribadah kepada Allah, berpikir dan bertafakur serta untuk mengarang risalah-risalah an-Nur sehingga waktu pagi, sering kalinya. Sehingga penduduk Barla tidak tahu, kapankah Ustadz tidur dan kapan bangun? Tidak ada orang yang lewat dekat pohon itu pada malam yang tenang kecuali pasti mendengar bunyi komat-kamit ulama yang sedang beribadah dan bertahajjud itu.
Di kota ini, dan di rumah ini, Ustadz Badiuzzaman Said Nursi menghabiskan masanya selama delapan setengah tahun. Di situlah beliau mengarang kebanyakkan risalah-risalah an-Nur. Jadi rumah ini adalah permulaan “Sekolah an-Nur”.
Ustadz Said Nursi senantiasa sakit. Beliau tidak selera makan. Bahkan bisa dikatakan bahwa beliau menghabiskan umurnya dalam keadaan setengah kenyang setengah lapar. Sehari semalam beliau hanya makan beberapa potong roti dan minum segelas kecil air. Makanan tersebut datang dari salah seorang tetangganya. Beliau selalu membayar harga makanan tersebut, karena prinsip yang dilaksanakan sepanjang hidupnya adalah, tidak mengambil sesuatu tanpa balasan. Beliau membiayai hidupnya dengan lira emas tabungannya dan dengan hemat cermat berkah Ilahi.24
Mata-mata pemerintah senantiasa mengintai Ustadz Said Nursi dan mengawasi segala gerak-gerinya di Barla. Oleh kerana itu penduduk di sana tidak mendekatinya dan tidak banyak berbicara dengannya, sehingga beliau banyak menghabiskan waktunya di rumah atau keluar pada waktu musim bunga dan panas ke pergunungan Igridir. Di sana, di puncak gunung tersebut dan di antara pepohonan, beliau bersendirian untuk bertafakur dan beribadah.
mencurah ini.
Akan tetapi Allah Taala justru mengkehendaki kota kecil ini menjadi sumber sinar Islam yang menerangi seloroh pelusuk Turki pada masa-masa selanjutnya. Sinarnya sampai di setiap desa, setiap kota dan setiap pelosok negara.
Di sana ada mata air di depan rumah kecil – airnya mengalir pada waktu musim panas dan dingin – sebagaimana terdapat di sana pohon pesawat (sycamore) yang besar, berdiri tegak di depan rumah. Pada waktu musim bunga dan panas, ribuan burung kecil menyanyi di atas dahan-dahannya yang banyak.
Seorang tukang kayu membuat sebuah kamar kecil dari kayu tanpa atap di atas pohon pesawat (sycamore) yang besar tersebut. Ustadz Badiuzzaman banyak menghabiskan masanya di situ pada musim bunga dan panas untuk beribadah kepada Allah, berpikir dan bertafakur serta untuk mengarang risalah-risalah an-Nur sehingga waktu pagi, sering kalinya. Sehingga penduduk Barla tidak tahu, kapankah Ustadz tidur dan kapan bangun? Tidak ada orang yang lewat dekat pohon itu pada malam yang tenang kecuali pasti mendengar bunyi komat-kamit ulama yang sedang beribadah dan bertahajjud itu.
Di kota ini, dan di rumah ini, Ustadz Badiuzzaman Said Nursi menghabiskan masanya selama delapan setengah tahun. Di situlah beliau mengarang kebanyakkan risalah-risalah an-Nur. Jadi rumah ini adalah permulaan “Sekolah an-Nur”.
Ustadz Said Nursi senantiasa sakit. Beliau tidak selera makan. Bahkan bisa dikatakan bahwa beliau menghabiskan umurnya dalam keadaan setengah kenyang setengah lapar. Sehari semalam beliau hanya makan beberapa potong roti dan minum segelas kecil air. Makanan tersebut datang dari salah seorang tetangganya. Beliau selalu membayar harga makanan tersebut, karena prinsip yang dilaksanakan sepanjang hidupnya adalah, tidak mengambil sesuatu tanpa balasan. Beliau membiayai hidupnya dengan lira emas tabungannya dan dengan hemat cermat berkah Ilahi.24
Mata-mata pemerintah senantiasa mengintai Ustadz Said Nursi dan mengawasi segala gerak-gerinya di Barla. Oleh kerana itu penduduk di sana tidak mendekatinya dan tidak banyak berbicara dengannya, sehingga beliau banyak menghabiskan waktunya di rumah atau keluar pada waktu musim bunga dan panas ke pergunungan Igridir. Di sana, di puncak gunung tersebut dan di antara pepohonan, beliau bersendirian untuk bertafakur dan beribadah.
No Voice