Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 35
(1-144)
UZLAH DAN KESEPIAN
Beliau menulis tentang uzlah, kesepian dan keterasingannya pada waktu itu sebagai berikut: “Ketika saya berada di pengasingan saya – yaitu penawanan yang memedihkan – saya tinggal seorang diri, terasing dari orang lain di atas puncak gunung Jaam25 yang menghadap ke arah rerumputan Barla. Saya mencari cahaya pada uzlah tersebut. Pada suatu malam, di kamar kecil tanpa atap yang dipasaang di atas pohon cemara yang tinggi itu, zaman ketuaanku meliputiku dengan berbagai perasaan keterangan – sebagaimana saya terangkan di dalam “al-Maktub as-Sadis dengan sejelas-jelasnya. Pada malam yang tenang, tanpa bunyi dan suara apapun kecuali bunyi yang memedihkan itu telah menimpa perasaanku yang paling dalam dan menyentuh zaman ketuaanku serta rasa keterasinganku, maka zaman ketuaanku itu membisikiku dengan sebuah peringatan : “Sebagaimana siang hari telah berubah menjadi kuburan yang gelap, dan dunia telah memakai kain kafannya yang hitam, demikian pula siang umurmu akan berganti malam. Siang dunia akan berubah menjadi malam musim panas kematian”. Jiwaku menjawabnya dengan pedih : “Ya, sebagaimana saya sekarang terasing dari negeriku dan jauh dari tanah tumpah darahku, maka perpisahanku dengan orang-orang yang kukasihi pada umurku yang telah mencapai lima puluh tahun dan tidak bisa berbuat apapun kecuali melinangkan air mata di belakang mereka, perpisahanku itu adalah keterasingan yang melebihi keterasinganku dari tanah tumpah darahku. Dan pada malam ini saya merasa terasing sehingga lebih sedih dan pedih daripada keterasinganku diatas gunung yang dipenuhi dengan keterasingan dan kesedihan ini. Masa tuaku memperingatkan aku akan dekatnya waktu perpisahan terakhir dari dunia dan segala isinya. Di dalam keterasingan yang dipenuhi kesedihan ini dan dari kesedihan yang bercampur kepedihan ini, saya mulai mencari nur dan cahaya harapan. Tiba-tiba datanglah “iman kepada Allah” untuk menyelamatkanku dan mengeratkan ikatanku serta memberiku hiburan yang seandainya penderitaan dan kesepianku berlipat ganda, niscaya hiburan tersebut cukup untuk mengobati jiwaku”. (33)
PEMULAAN PERKENALAN
Para penduduk Barla sering melihat Ustadz Said ketika beliau keluar dari rumahnya menuju ke gunung atau kembali ke rumahnya dari gunung tersebut. Tidak seorang pun di antara mereka yang berani menegurnya. Beliau adalah orang yang tidak disukai penguasa, jadi mengapa membuat masalah dengan para penguasa sedang mereka tidak memerlukannya?! Akan tetapi... pada suatuhari, di waktu musim panas, Ustadz Said keluar dari rumahnya menuju ke gunung seperti biasa. Cuaca cerah, dan matahari pun bersinar terang. Namun begitu Ustadz Said sampai di puncak gunung, tiba-tiba langit diliputi dengan mendung hitam yang memberi peringatan akan dekatnya angin taufan. Dan benar saja, langit berkilat dan petir menyambar-nyambar lalu hujan turun dengan lebatnya. Ustadz Said berada seorang diri di atas puncak gunung itu. Beliau tidak mempunyai tempat berlindung dari air hujan yang mencurah-curah selain pepohonan yang tidak cukup untuk melindungi diri dari basah. Setelah beberapa lama kemudian, hujan mulai reda dan turun rintik-rintik. Ustadz segera menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke rumahnya. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Di jalan, sepatunya koyak. Maka beliau lalu masuk ke desanya sambil membawa sepatunya itu dengan tangan dan berjalan melalui lumpur dengan kaos kakinya yang putih.
PEMULAAN PERKENALAN
Para penduduk Barla sering melihat Ustadz Said ketika beliau keluar dari rumahnya menuju ke gunung atau kembali ke rumahnya dari gunung tersebut. Tidak seorang pun di antara mereka yang berani menegurnya. Beliau adalah orang yang tidak disukai penguasa, jadi mengapa membuat masalah dengan para penguasa sedang mereka tidak memerlukannya?! Akan tetapi... pada suatuhari, di waktu musim panas, Ustadz Said keluar dari rumahnya menuju ke gunung seperti biasa. Cuaca cerah, dan matahari pun bersinar terang. Namun begitu Ustadz Said sampai di puncak gunung, tiba-tiba langit diliputi dengan mendung hitam yang memberi peringatan akan dekatnya angin taufan. Dan benar saja, langit berkilat dan petir menyambar-nyambar lalu hujan turun dengan lebatnya. Ustadz Said berada seorang diri di atas puncak gunung itu. Beliau tidak mempunyai tempat berlindung dari air hujan yang mencurah-curah selain pepohonan yang tidak cukup untuk melindungi diri dari basah. Setelah beberapa lama kemudian, hujan mulai reda dan turun rintik-rintik. Ustadz segera menggunakan kesempatan itu untuk kembali ke rumahnya. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Di jalan, sepatunya koyak. Maka beliau lalu masuk ke desanya sambil membawa sepatunya itu dengan tangan dan berjalan melalui lumpur dengan kaos kakinya yang putih.
No Voice