Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 39
(1-144)
GELOMBANG BARU
Gelombang memerangi Islam semakin meningkat. Hampir setiap tahun ada keputusan baru atau “pencapaian baru” menurut istilah penguasa, yang sebenarnya tiada lain merupakan unsur penghancur rukun Islam.
Pada tahun 1932M keluar perintah yang melarang adzan secara syarak di Turki. Adzan yang berkumandang sejak beratus-ratus tahun di seluruh pelosok negara ini diganti dengan bahasa Turki. Ia merupakan musibah baru yang membuat hati berdarah dan mata menangis. Di mana kedudukan adzan yang menyejukkan hati dan mengkhusyukkan jiwa itu dibanding dengan adzan yang membuat hati lari dan pendengaran menjauh?
Di dalam masjid kecil di mana Ustadz Badiuzzaman sembahyang sebagai imam bagi para penduduk, mereka bekeras untuk mengumandangkan adzan dan iqamah dengan bahasa Arab di dalam masjid. Maka ketika berita membahayakan ini sampai ke telinga pegawai, pegawai tersebut segera mengatur orang-orangnya di dalam masjid. Mereka bersembunyi di tempat sembahyang kaum wanita supaya mereka dapat menangkap “para penjahat” ketika mereka sedang melakukan “kejahatan” tersebut.
Akhirnya, para penduduk itu ditangkap dan diiring pada waktu musim dingin dengan berjalan kaki, di jalan yang dipenuhi dengan salju, menuju Igridir.
Mari kita dengarkan salah seorang di antara mereka – yaitu muadzin masjid – meriwayatkan kenangannya terhadap kejadian tersebut. Katanya: “Betapa mereka menyiksa kami dalam masalah adzan ketika mereka mewajibkan kami adzan dengan bahasa Turki. Di sana ada perintah untuk mengganti adzan secara syarak – dengan bahasa Arab – dan beberapa ulama agama berkata: “Kita harus mentaati perintah ulul amri (penguasa)”. Akan tetapi bagi saya, saya hanya berkata: “Saya tidak mengenal permainan yang disebut adzan Turki yang aneh ini. Bagaimana saya tahu bahwa suatu “pesta jeritan” telah disiapkan untuk saya?” Pada suatu hari mereka menyerbu masjid Ustadz Said Nursi. Mereka menangkap Abdullah Jawish, Mustafa Jawish, Sulaiman dan Ali – aku-, dan mereka mengusir yang lainnya. Mereka membawa kami ke kota Igridir dengan berjalan kaki di atas salju. Di sana kami dimasukkan ke dalam sel dan orang lain dilarang bercakap-cakap dengan kami. Pada suatu hari kami dihadapkan kepada pendakwa utama.
Gelombang memerangi Islam semakin meningkat. Hampir setiap tahun ada keputusan baru atau “pencapaian baru” menurut istilah penguasa, yang sebenarnya tiada lain merupakan unsur penghancur rukun Islam.
Pada tahun 1932M keluar perintah yang melarang adzan secara syarak di Turki. Adzan yang berkumandang sejak beratus-ratus tahun di seluruh pelosok negara ini diganti dengan bahasa Turki. Ia merupakan musibah baru yang membuat hati berdarah dan mata menangis. Di mana kedudukan adzan yang menyejukkan hati dan mengkhusyukkan jiwa itu dibanding dengan adzan yang membuat hati lari dan pendengaran menjauh?
Di dalam masjid kecil di mana Ustadz Badiuzzaman sembahyang sebagai imam bagi para penduduk, mereka bekeras untuk mengumandangkan adzan dan iqamah dengan bahasa Arab di dalam masjid. Maka ketika berita membahayakan ini sampai ke telinga pegawai, pegawai tersebut segera mengatur orang-orangnya di dalam masjid. Mereka bersembunyi di tempat sembahyang kaum wanita supaya mereka dapat menangkap “para penjahat” ketika mereka sedang melakukan “kejahatan” tersebut.
Akhirnya, para penduduk itu ditangkap dan diiring pada waktu musim dingin dengan berjalan kaki, di jalan yang dipenuhi dengan salju, menuju Igridir.
Mari kita dengarkan salah seorang di antara mereka – yaitu muadzin masjid – meriwayatkan kenangannya terhadap kejadian tersebut. Katanya: “Betapa mereka menyiksa kami dalam masalah adzan ketika mereka mewajibkan kami adzan dengan bahasa Turki. Di sana ada perintah untuk mengganti adzan secara syarak – dengan bahasa Arab – dan beberapa ulama agama berkata: “Kita harus mentaati perintah ulul amri (penguasa)”. Akan tetapi bagi saya, saya hanya berkata: “Saya tidak mengenal permainan yang disebut adzan Turki yang aneh ini. Bagaimana saya tahu bahwa suatu “pesta jeritan” telah disiapkan untuk saya?” Pada suatu hari mereka menyerbu masjid Ustadz Said Nursi. Mereka menangkap Abdullah Jawish, Mustafa Jawish, Sulaiman dan Ali – aku-, dan mereka mengusir yang lainnya. Mereka membawa kami ke kota Igridir dengan berjalan kaki di atas salju. Di sana kami dimasukkan ke dalam sel dan orang lain dilarang bercakap-cakap dengan kami. Pada suatu hari kami dihadapkan kepada pendakwa utama.
No Voice