Biografi Bediüzzaman Said Nursi | Biografi Bediüzzaman Said Nursi | 94
(1-144)
Adapun kelompok kedua: yaitu mereka yang ekstrim karena menyokong para syaikh mereka dan menerima apa saja yang datang dari mereka, mereka mengikuti jalan para syaikh tersebut dan memalingkan punggung mereka dari jalan yang benar karena mereka berbaik sangka terhadap para syaikh mereka itu sehingga sebagian mereka telah masuk ke dalam kesesatan tanpa disadarinya...” (81).
Mungkin ada pertanyaan di pikiran pembaca: “Apakah pendapat risalah-risalah an-Nur terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang ikhlas Ibnu Qayyim al-Jauziyah? Apakah mereka berdua disebutkan di dalam risalah-risalah an-Nur? Kemudian apakah pendapat risalah-risalah an-Nur terhadap Syaikh Muhyiddin bin Arabi dan tarekatnya?
Supaya ringkas, kami menukilkan paragraf berikut di mana Ustadz Badiuzzaman menyebut Syaikh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada salah seorang muridnya ketika beliau berada di Emirdag. Beliau menyifati keduanya sebagai “dua tokoh hebat yang cerdik” dan “dua orang yang membuat kita kagum” serta “dua orang yang mahsyur” dan beliau menyifati buku-buku keduanya sebagai karangan-karangan yang mempunyai daya tarik kuat sekali dan mengagumkan sekali. Kata beliau: “...sejak beberapa waktu kita melihat – di antara para ulama di Istanbul – tersebar karangan-karangan yang mengagumkan sekali yang mempunyai daya tarik kuat, yaitu karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dua orang tokoh hebat yang cerdik, masyhur danmembuat kita kagum”.(82)
Adapun mengenai Syaikh Muhyiddin bin Arabi, maka kami akan menukilkan dua paragraf dari dua risalah yang berbeda. Yang pertama menganalisa kepribadiannya, dan yang kedua, tarekatnya.
“Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk membuat tolok ukur antara keterlaluan dan kesembronoan orang ini, maka saya cukup mengatakan berikut ini:
“Ia – yakni Muhyiddin bin Arabi – tidak patut menjadi pembimbing atau teladan dalam semua yang ditulisnya, meskipun ia adalah orang yang bisa diterima dan mendapat petunjuk...
akan tetapi karena ia menyalahi kaedah-kaedah yang telah tetap pada Ahlus Sunnah maka ia seringkali berlalu tanpa menimbang hakekat. Oleh sebab itu, beberapa pendapatnya – tampak – menimbulkan kesesatan, akan tetapi ia bebas dari kesesatan, karena kadang-kadang perkataan itu tampak luarnya kufur akan tetapi orang yang mengatakannya itu bukan orang kafir...”(83)
Beliau menyatakan pendapatnya tentang buku-buku Muhyiddin bin Arabi pada akhir risalah yang sama dengan katanya: “Oleh sebab itu, membaca buku-buku Muhyiddin berbahaya pada zaman kita ini, khususnya pendapatnya tentang wahdatul wujud”.(84).
Adapun mengenai pendapat risalah-risalah an-Nur mengenai tarekat Muhyiddin dan lainnya, maka ia telah banyak dirinci dan dianalisa dari semua seginya, khususnya di “al-Maktub kedua puluh sembilan”, akan tetapi paragraf berikut memberikan keterangan yang jelas mengenai cara risalah-risalah tersebut menimbang pikiran-pikiran semacam ini sesuai dengan manhaj al-Quran, dan bahwa semua tarekat dan manhaj yang tidak timbul dari al-Quran tidak menyampaikan manusia kepada hakekat dan ketenangan hati.
Mungkin ada pertanyaan di pikiran pembaca: “Apakah pendapat risalah-risalah an-Nur terhadap Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya yang ikhlas Ibnu Qayyim al-Jauziyah? Apakah mereka berdua disebutkan di dalam risalah-risalah an-Nur? Kemudian apakah pendapat risalah-risalah an-Nur terhadap Syaikh Muhyiddin bin Arabi dan tarekatnya?
Supaya ringkas, kami menukilkan paragraf berikut di mana Ustadz Badiuzzaman menyebut Syaikh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah di dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada salah seorang muridnya ketika beliau berada di Emirdag. Beliau menyifati keduanya sebagai “dua tokoh hebat yang cerdik” dan “dua orang yang membuat kita kagum” serta “dua orang yang mahsyur” dan beliau menyifati buku-buku keduanya sebagai karangan-karangan yang mempunyai daya tarik kuat sekali dan mengagumkan sekali. Kata beliau: “...sejak beberapa waktu kita melihat – di antara para ulama di Istanbul – tersebar karangan-karangan yang mengagumkan sekali yang mempunyai daya tarik kuat, yaitu karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dua orang tokoh hebat yang cerdik, masyhur danmembuat kita kagum”.(82)
Adapun mengenai Syaikh Muhyiddin bin Arabi, maka kami akan menukilkan dua paragraf dari dua risalah yang berbeda. Yang pertama menganalisa kepribadiannya, dan yang kedua, tarekatnya.
“Saya tidak mempunyai cukup waktu untuk membuat tolok ukur antara keterlaluan dan kesembronoan orang ini, maka saya cukup mengatakan berikut ini:
“Ia – yakni Muhyiddin bin Arabi – tidak patut menjadi pembimbing atau teladan dalam semua yang ditulisnya, meskipun ia adalah orang yang bisa diterima dan mendapat petunjuk...
akan tetapi karena ia menyalahi kaedah-kaedah yang telah tetap pada Ahlus Sunnah maka ia seringkali berlalu tanpa menimbang hakekat. Oleh sebab itu, beberapa pendapatnya – tampak – menimbulkan kesesatan, akan tetapi ia bebas dari kesesatan, karena kadang-kadang perkataan itu tampak luarnya kufur akan tetapi orang yang mengatakannya itu bukan orang kafir...”(83)
Beliau menyatakan pendapatnya tentang buku-buku Muhyiddin bin Arabi pada akhir risalah yang sama dengan katanya: “Oleh sebab itu, membaca buku-buku Muhyiddin berbahaya pada zaman kita ini, khususnya pendapatnya tentang wahdatul wujud”.(84).
Adapun mengenai pendapat risalah-risalah an-Nur mengenai tarekat Muhyiddin dan lainnya, maka ia telah banyak dirinci dan dianalisa dari semua seginya, khususnya di “al-Maktub kedua puluh sembilan”, akan tetapi paragraf berikut memberikan keterangan yang jelas mengenai cara risalah-risalah tersebut menimbang pikiran-pikiran semacam ini sesuai dengan manhaj al-Quran, dan bahwa semua tarekat dan manhaj yang tidak timbul dari al-Quran tidak menyampaikan manusia kepada hakekat dan ketenangan hati.
No Voice