Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 112
(1-357)
Ketahuilah wahai yang berusaha berijtihad dalam berbagai persoalan agama di masa kini, pintu ijtihad selalu terbuka. Hanya saja engkau tak bisa memasukinya lantaran enam hal:
Pertama, hembusan angin kencang di musim dingin membuat seluruh jendela tertutup. Karena itu, bagaimana ia bisa terbuka? Ketika berbagai kemungkaran dan bid’ah sudah mengepung, lalu sejumlah faktor yang merusak senantiasa menyerang, tembok-tembok tidak bisa dibuka.
Kedua, berbagai kewajiban agama yang tidak boleh menjadi objek ijtihad di mana ia ibarat nutrisi dan makanan kaum muslim telah banyak diabaikan. Karena itu, hendaknya seluruh tekad yang ada diarahkan untuk menegakkan, melaksanakan, dan menghidupkannya. Kemudian sesudah terjadi bencana baik sakala besar maupun kecil, terasa ada kebutuhan untuk berijtihad dalam berbagai pandangan yang berkembang lewat ijtihad para salaf sesuai dengan kebutuhan setiap masa.
Ketiga, setiap masa memiliki kesenangan yang diminati. Berbagai kecenderungan serta pemikiran diarahkan kepadanya. Misalnya di masa kini adalah persoalan politik dan jaminan kehidupan dunia, sementara di masa lalu adalah pengambilan kesimpulan hukum tentang hal-hal yang disenangi oleh Tuhan lewat firman-Nya dan jaminan kebahagiaan abadi. Karena pikiran, kalbu, dan jiwa pada sebagian besar masyarakat di masa lalu mengarah kepada bagaimana mengenali sesuatu yang Allah ridhai, maka setiap orang yang memiliki potensi bagus kalbu dan fitrahnya terus belajar dari semua kondisi dan peristiwa yang terjadi di waktu itu seolah-olah semuanya mengajarkan fitrahnya untuk memiliki kesiapan untuk berijtihad. Sehingga seolah-olah minyak otaknya sudah terang meski tidak tersentuh dengan api usaha. Jika bergegeas melakukan ijtihad ia menjadi cahaya di atas cahaya. Adapun pada saat ini karena pikiran dan kalbu sudah tercerai-berai, juga perhatian dan orientasi sudah terbagi, lalu masalah politik dan filsafat sudah menguasai otak, maka orang yang kecerdasannya seperti Sufyan ibn Uyaynah[1] misalnya baru bisa menghasilkan ijtihad dengan membutuhkan sepuluh kali lipat waktu yang dihasilkan oleh ijtihadnya Sufyan. Pasalnya Sufyan sudah mulai melakukan hal tersebut sejak awal sehingga memiliki kesiapan seperti korek api. Adapun yang lain karena berbagai hal yang telah disebutkan kesiapannya terpecah lantaran bergelut dengan banyak disiplin ilmu modern sehingga sulit untuk berijtihad.
Keempat, kecenderungan untuk memperluas dan berijtihad jika memang dilakukan dengan benar dalam ruang lingkup kesempurnaan Islam yang disertai sikap takwa sempurna dan pengamalan berbagai kewajiban, maka kecenderungan tersebut sempurna dan menyempurnakan. Adapun jika ia dilakukan oleh orang yang mengabaikan kewajiban serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat, maka kecenderungan tersebut akan merusak dan menjadi sarana untuk melepas beban dari pundaknya.
----------------------------------------------
[1] Lahir di Kufah tahun 107 H dan meninggal tahun 198 H di Mekkah al-Mukarramah. Ia merupakan imam, ulama, hujjah, yang zuhud dan wara’. Hadist dan riwayat yang berasal darinya dianggap sahih. Ia berhaji sebanyak tujuh puluh kali. Pernah berjumlah dengan delapan puluh sekian tabiin. Ia mengambil riwayat dari az-Zuhri, as-Sab’iy, Ibn al-Munkadir, Abi az-Zinad, Ashim al-Muqrini, al-A’masy, Abdul Malik ibn Umayr dan tokoh ulama lainnya. Tokoh yang mengambil riwayat darinya adalah Imam Syafii, Syu’bah, Muhammad ibn Ishaq, Ibn Juraij, Ibn Bakkar berikut pamannya, Mush’ab, ash-Shan’ani, Yahya ibn Aktsam, serta masih banyak lagi tokoh yang lain. (Ringkasan dari Wafayât al-A’yân karya Ibnu Khalikan 2/391-393).
Pertama, hembusan angin kencang di musim dingin membuat seluruh jendela tertutup. Karena itu, bagaimana ia bisa terbuka? Ketika berbagai kemungkaran dan bid’ah sudah mengepung, lalu sejumlah faktor yang merusak senantiasa menyerang, tembok-tembok tidak bisa dibuka.
Kedua, berbagai kewajiban agama yang tidak boleh menjadi objek ijtihad di mana ia ibarat nutrisi dan makanan kaum muslim telah banyak diabaikan. Karena itu, hendaknya seluruh tekad yang ada diarahkan untuk menegakkan, melaksanakan, dan menghidupkannya. Kemudian sesudah terjadi bencana baik sakala besar maupun kecil, terasa ada kebutuhan untuk berijtihad dalam berbagai pandangan yang berkembang lewat ijtihad para salaf sesuai dengan kebutuhan setiap masa.
Ketiga, setiap masa memiliki kesenangan yang diminati. Berbagai kecenderungan serta pemikiran diarahkan kepadanya. Misalnya di masa kini adalah persoalan politik dan jaminan kehidupan dunia, sementara di masa lalu adalah pengambilan kesimpulan hukum tentang hal-hal yang disenangi oleh Tuhan lewat firman-Nya dan jaminan kebahagiaan abadi. Karena pikiran, kalbu, dan jiwa pada sebagian besar masyarakat di masa lalu mengarah kepada bagaimana mengenali sesuatu yang Allah ridhai, maka setiap orang yang memiliki potensi bagus kalbu dan fitrahnya terus belajar dari semua kondisi dan peristiwa yang terjadi di waktu itu seolah-olah semuanya mengajarkan fitrahnya untuk memiliki kesiapan untuk berijtihad. Sehingga seolah-olah minyak otaknya sudah terang meski tidak tersentuh dengan api usaha. Jika bergegeas melakukan ijtihad ia menjadi cahaya di atas cahaya. Adapun pada saat ini karena pikiran dan kalbu sudah tercerai-berai, juga perhatian dan orientasi sudah terbagi, lalu masalah politik dan filsafat sudah menguasai otak, maka orang yang kecerdasannya seperti Sufyan ibn Uyaynah[1] misalnya baru bisa menghasilkan ijtihad dengan membutuhkan sepuluh kali lipat waktu yang dihasilkan oleh ijtihadnya Sufyan. Pasalnya Sufyan sudah mulai melakukan hal tersebut sejak awal sehingga memiliki kesiapan seperti korek api. Adapun yang lain karena berbagai hal yang telah disebutkan kesiapannya terpecah lantaran bergelut dengan banyak disiplin ilmu modern sehingga sulit untuk berijtihad.
Keempat, kecenderungan untuk memperluas dan berijtihad jika memang dilakukan dengan benar dalam ruang lingkup kesempurnaan Islam yang disertai sikap takwa sempurna dan pengamalan berbagai kewajiban, maka kecenderungan tersebut sempurna dan menyempurnakan. Adapun jika ia dilakukan oleh orang yang mengabaikan kewajiban serta lebih mengutamakan kehidupan dunia daripada akhirat, maka kecenderungan tersebut akan merusak dan menjadi sarana untuk melepas beban dari pundaknya.
----------------------------------------------
[1] Lahir di Kufah tahun 107 H dan meninggal tahun 198 H di Mekkah al-Mukarramah. Ia merupakan imam, ulama, hujjah, yang zuhud dan wara’. Hadist dan riwayat yang berasal darinya dianggap sahih. Ia berhaji sebanyak tujuh puluh kali. Pernah berjumlah dengan delapan puluh sekian tabiin. Ia mengambil riwayat dari az-Zuhri, as-Sab’iy, Ibn al-Munkadir, Abi az-Zinad, Ashim al-Muqrini, al-A’masy, Abdul Malik ibn Umayr dan tokoh ulama lainnya. Tokoh yang mengambil riwayat darinya adalah Imam Syafii, Syu’bah, Muhammad ibn Ishaq, Ibn Juraij, Ibn Bakkar berikut pamannya, Mush’ab, ash-Shan’ani, Yahya ibn Aktsam, serta masih banyak lagi tokoh yang lain. (Ringkasan dari Wafayât al-A’yân karya Ibnu Khalikan 2/391-393).
No Voice