Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 114
(1-357)
Jika engkau membuktikannya, lihat kepada keseimbangan berikut. Yaitu bahwa seluruh entitas pelakunya bisa sesuatu yang mungkin dan banyak, atau Zat Yang wajib ada dan esa. Anggapan berat, aneh, dan mustahil yang muncul akibat keterbatasaan pandangan ketika menisbatkan sesuatu kepada Wajibul wujud justru menjadi benar ketika menisbatkannya kepada sesuatu yang banyak. Sesuatu yang disangka di sana justru terwujud di sini. Kemudian kondisi berat, aneh, dan mustahil tersebut ikut bertambah dengan semakin bertambahnya jumlah bagian entitas padahal. Sementara ketika semua dinisbatkan kepada Allah, berarti menisbatkan sesuatu yang banyak tak terhingga kepada Zat yang satu yang substansinya berbeda. Sebaliknya, menisbatkan kepada yang banyak berarti menisbatkan sesuatu yang satu kepada banyak tak terhingga yang substansinya sama. Sebagai contoh lebah. Kalau ia dinisbatkan kepada Tuhan, tentu langit dan bumi juga ikut serta menghadirkannya karena ia terkait dengan pilar-pilar alam. Kemunculan sesuatu yang banyak dari sesuatu yang satu jauh lebih mudah ketimbang jika sesuatu yang satu berasal dari sesuatu yang banyak yang sama-sama buta dan tuli yang berbaurnya mereka hanya menambah buta dan tuli. Selain itu, jika beban yang ada dalam penisbatan pertama itu hanya seberat atom, maka dalam penisbatan yang kedua bisa seberat gunung. Pasalnya, Zat yang esa dengan satu perbuatan menghasilkan banyak, sementara jika penisbatan dialihkan kepada sesuatu yang banyak, maka hasil tadi sulit terwujud. Ia baru tercapai dengan begitu banyak proses dan beban yang berat. Sama seperti pimpinan bersama pasukannya, mata air dan tetesannya, sentral dan titik wilayahnya.
Di samping itu, sikap menganggap aneh dan mustahil pada penisbatan yang pertama akan berbalik pada penisbatan yang kedua menuju kemustahilan berantai.
Di antara bentuk kemustahilan tersebut adalah anggapan adanya sifat-sifat Tuhan pada setiap partikel. Sebab, kesempurnaan penciptaan mengharuskan adanya pengetahuan yang komprehensif, penglihatan yang mutlak, kekuasaan yang sempurna, dan kehendak yang menyeluruh.
Di antaranya pula hayalan adanya sejumlah sekutu yang jumlahnya tak terhingga dalam hal uluhiyah yang sama sekali tidak menerima persekutuan. Pasalnya, jika sesuatu tidak dinisbatkan kepada Zat yang wajib ada, berarti setiap sesuatu harus memiliki banyak tuhan.
Lalu asumsi bahwa setiap partikel mengontrol keseluruhan sekaligus dikontrol oleh keseluruhan. Sama seperti batu dalam bangunan yang rumit. Andaikata keberadaan pembangunnya disanggah, berarti setiap batu ibarat pembangun yang memiliki pengetahuan dan mengerti arsitektur. Pasalnya, tatanan, keteraturan, kerapian, dan keberadaan sejumlah hikmah tidak menerima adanya proses kebetulan.
Di antara bentuk kemustahilan lainnya adalah asumsi adanya perasaan yang menyeluruh, pengetahuan sempurna, penglihatan utuh pada setiap partikel dan sebab. Pasalnya, keseimbangan, keselarasan, dan kerjasama yang ada mengharuskan adanya perasaan yang komprehensif, penglihatan yang utuh serta berbagai sifat Tuhan lainnya. Andaikan sesuatu dinisbatkan kepada dirinya berarti sifat-sifat itu harus dibayangkan terdapat padanya. Kalau ia dinisbatkan kepada sebab, berarti sifat-sifat tadi harus terdapat pada sebab tersebut, bahkan harus ada pada setiap partikelnya. Demikianlah rangkaian kemustahilan dan kebatilan yang dimunculkan oleh ilusi dan hayalan.
Di samping itu, sikap menganggap aneh dan mustahil pada penisbatan yang pertama akan berbalik pada penisbatan yang kedua menuju kemustahilan berantai.
Di antara bentuk kemustahilan tersebut adalah anggapan adanya sifat-sifat Tuhan pada setiap partikel. Sebab, kesempurnaan penciptaan mengharuskan adanya pengetahuan yang komprehensif, penglihatan yang mutlak, kekuasaan yang sempurna, dan kehendak yang menyeluruh.
Di antaranya pula hayalan adanya sejumlah sekutu yang jumlahnya tak terhingga dalam hal uluhiyah yang sama sekali tidak menerima persekutuan. Pasalnya, jika sesuatu tidak dinisbatkan kepada Zat yang wajib ada, berarti setiap sesuatu harus memiliki banyak tuhan.
Lalu asumsi bahwa setiap partikel mengontrol keseluruhan sekaligus dikontrol oleh keseluruhan. Sama seperti batu dalam bangunan yang rumit. Andaikata keberadaan pembangunnya disanggah, berarti setiap batu ibarat pembangun yang memiliki pengetahuan dan mengerti arsitektur. Pasalnya, tatanan, keteraturan, kerapian, dan keberadaan sejumlah hikmah tidak menerima adanya proses kebetulan.
Di antara bentuk kemustahilan lainnya adalah asumsi adanya perasaan yang menyeluruh, pengetahuan sempurna, penglihatan utuh pada setiap partikel dan sebab. Pasalnya, keseimbangan, keselarasan, dan kerjasama yang ada mengharuskan adanya perasaan yang komprehensif, penglihatan yang utuh serta berbagai sifat Tuhan lainnya. Andaikan sesuatu dinisbatkan kepada dirinya berarti sifat-sifat itu harus dibayangkan terdapat padanya. Kalau ia dinisbatkan kepada sebab, berarti sifat-sifat tadi harus terdapat pada sebab tersebut, bahkan harus ada pada setiap partikelnya. Demikianlah rangkaian kemustahilan dan kebatilan yang dimunculkan oleh ilusi dan hayalan.
No Voice