Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 118
(1-357)
Ketahuilah wahai orang yang berfilsafat yang lebih mengutamakan akal ketimbang nas sehingga nas yang ada ditakwilkan dan disimpangkan lantaran tidak bisa diterima oleh akalmu yang telah tertipu dalam dunia filsafat. Dulunya aku seperti dirimu. Kemudian aku menyaksikan sebuah istana megah yang atapnya bersambung dengan langit.[1] Lewat celah-celahnya yang tinggi terdapat sejumlah keranjang yang diturunkan. Tali-talinya terdapat di pangkal dan ujung. Sebagiannya dekat dengan bumi sehingga manusia yang mendapat taufik melemparkan dirinya ke keranjang tersebut agar terangkat menuju tempat yang lebih tinggi. Kemudian aku melihat sebagian orang yang rugi dan tertipu tidak peduli dengan keranjang tersebut. Mereka berusaha naik dengan mengumpukan batu dan segala sesuatu. Mereka meletakkannya di bawah kaki. Setelah itu, mereka naik sedikit namun setelah itu terjatuh. Mereka tidak pernah bisa naik ke atas. Aku melihat sejumlah orang yang bersandar pada jiwa firauniyah mereka. Mereka memasukkan paku ke dinding istana lalu menginjaknya untuk naik. Akan tetapi mereka langsung jatuh tersungkur. Aku melihat bahwa upaya dan perangkat yang diberikan kepada mereka adalah untuk dipergunakan sesuai taufik untuk bisa naik ke keranjang; bukan ke kedudukan yang tinggi itu. Akalmu adalah tali kekangmu. Dengan nas ia bisa menaikkanmu. Siapa yang bersandar kepada Allah, maka Dia akan mencukupinya.
Ketahuilah wahai yang bingung melihat dominannya jumlah orang jahat dibanding orang baik serta keunggulan mereka atas orang saleh dalam kehidupan dunia. Dalam satu insiden aku melihat sejumlah istana. Setiap istana memiliki paviliun yang berdampingan dan meninggi ke atas. Kenikmatan, posisi, dan cahaya yang di dapat penghuni setiap tingkatnya berbeda-beda. Orang yang berada di pusat tertinggi seperti raja. Sementara, di bawahnya terdapat sejumlah tempat yang kedudukan dan cahaya penghuninya berbeda-beda. Demikian seterusnya sampai ke pintu. Tepat di sisi pintu terdapat pelayan yang tegas dan besar. Sementara di depan pintu terdapat anjing yang sedang menjulurkan lidah. Lalu aku melihat sebagian istana yang terus pintunya demikian terang. Setelah diperhatikan ternyata di dalamnya sang raja sedang bermain-main dengan anjing yang berada di depan pintu. Sementara, para wanita yang tak memakai tutup kepala bersenda gurau dengan sejumlah anak. Karenanya berbagai tugas suci yang terdapat di dalamnya terabaikan, sementara sejumlah tugas anjing, anak-anak kecil, dan pelayan tampak terang. Ia membuat istana tersebut sangat terang dari luar, sementara di dalamnya gelap gulita.
Aku sadar bahwa istana tersebut adalah manusia. Dalam pandanganmu setiap manusia adalah istana. Diriku yang bermaksiat juga merupakan istana. Jatuhnya para penghuni istana berbeda-beda. Menurutku apa yang oleh pemilik peradaban saat ini dianggap sebagai kemajuan sebetulnya merupakan kemerosotan. Apa yang dianggap sebagai kemuliaan sebenarnya merupakan kehinaan. Apa yang dimaksud sebagai kesadaran sebetulnya tenggelam dalam kelalaian. Apa yang disebut sebagai kebaikan sebetulnya merupakan riya yang munafik. Apa yang disebut sebagai kecerdasan sebetulnya merupakan tipuan setan. Apa yang disebut sebagai kemanusiaan sebetulnya merupakan kondisi hewani. Hanya saja, di atas sosok yang telah terjatuh dan berbuat maksiat ini bendera kebaikan berkibar lantaran jiwanya yang bercahaya bercampur dengan dirinya yang gelap gulita. Hal ini berbeda dengan orang taat yang hanya di depan pintu dirinya tampak kotor. Namun, ia turun bukan karena selera rendahnnya; akan tetapi untuk memberikan petunjuk kepada mereka yang telah keluar batas serta mengembalikan mereka kepada tujuan penciptaannya. Jika Allah mencintai seseorang, ia tidak dibuat mencintai dunia; tetapi membencinya lewat sejumlah musibah.
---------------------------------------------
[1] Penjelasan tentang masalah ini telah disebutkan dalam keterangan mengenai tiga jalan di akhir surat al-fatihah pada risalah “aku” (kalimat ketiga puluh). Juga dalam al-lawâmi (kilau cahaya) pada wisata fantasi di akhir kalimat. Maksud dari keranjang yang diturunkan adalah Alquran.
Ketahuilah wahai yang bingung melihat dominannya jumlah orang jahat dibanding orang baik serta keunggulan mereka atas orang saleh dalam kehidupan dunia. Dalam satu insiden aku melihat sejumlah istana. Setiap istana memiliki paviliun yang berdampingan dan meninggi ke atas. Kenikmatan, posisi, dan cahaya yang di dapat penghuni setiap tingkatnya berbeda-beda. Orang yang berada di pusat tertinggi seperti raja. Sementara, di bawahnya terdapat sejumlah tempat yang kedudukan dan cahaya penghuninya berbeda-beda. Demikian seterusnya sampai ke pintu. Tepat di sisi pintu terdapat pelayan yang tegas dan besar. Sementara di depan pintu terdapat anjing yang sedang menjulurkan lidah. Lalu aku melihat sebagian istana yang terus pintunya demikian terang. Setelah diperhatikan ternyata di dalamnya sang raja sedang bermain-main dengan anjing yang berada di depan pintu. Sementara, para wanita yang tak memakai tutup kepala bersenda gurau dengan sejumlah anak. Karenanya berbagai tugas suci yang terdapat di dalamnya terabaikan, sementara sejumlah tugas anjing, anak-anak kecil, dan pelayan tampak terang. Ia membuat istana tersebut sangat terang dari luar, sementara di dalamnya gelap gulita.
Aku sadar bahwa istana tersebut adalah manusia. Dalam pandanganmu setiap manusia adalah istana. Diriku yang bermaksiat juga merupakan istana. Jatuhnya para penghuni istana berbeda-beda. Menurutku apa yang oleh pemilik peradaban saat ini dianggap sebagai kemajuan sebetulnya merupakan kemerosotan. Apa yang dianggap sebagai kemuliaan sebenarnya merupakan kehinaan. Apa yang dimaksud sebagai kesadaran sebetulnya tenggelam dalam kelalaian. Apa yang disebut sebagai kebaikan sebetulnya merupakan riya yang munafik. Apa yang disebut sebagai kecerdasan sebetulnya merupakan tipuan setan. Apa yang disebut sebagai kemanusiaan sebetulnya merupakan kondisi hewani. Hanya saja, di atas sosok yang telah terjatuh dan berbuat maksiat ini bendera kebaikan berkibar lantaran jiwanya yang bercahaya bercampur dengan dirinya yang gelap gulita. Hal ini berbeda dengan orang taat yang hanya di depan pintu dirinya tampak kotor. Namun, ia turun bukan karena selera rendahnnya; akan tetapi untuk memberikan petunjuk kepada mereka yang telah keluar batas serta mengembalikan mereka kepada tujuan penciptaannya. Jika Allah mencintai seseorang, ia tidak dibuat mencintai dunia; tetapi membencinya lewat sejumlah musibah.
---------------------------------------------
[1] Penjelasan tentang masalah ini telah disebutkan dalam keterangan mengenai tiga jalan di akhir surat al-fatihah pada risalah “aku” (kalimat ketiga puluh). Juga dalam al-lawâmi (kilau cahaya) pada wisata fantasi di akhir kalimat. Maksud dari keranjang yang diturunkan adalah Alquran.
No Voice