Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 140
(1-357)
Adapun potret cahaya benar-benar bersambung dan terpaut. Ia juga merupakan pemilik karakter aslinya. Andaikan Tuhan Pencipta menjadikan panas matahari sebagai kehidupannya, cahayanya sebagai perasaannya, serta warna cahayanya sebagai inderanya, tentu matahari tadi akan berbicara padamu dalam kalbu cermin yang terdapat di tanganmu, ibarat telepon yang berada di cermin kalbu. Perumpamaannya yang terdapat di tanganmu juga merupakan miliknya sesuai dengan kadar kesiapannya dalam memberikan panas kehidupan, cahaya perasaan, dan warna indera. Dari rahasia ini Nabi saw. yang merupakan cahaya mengetahui semua salawat orang yang bersalawat kepada beliau dalam satu waktu. Dari sini pula semua rahasia tersembunyi menjadi terbuka.[1]
Ketahuilah bahwa kalimat subhanallâh wal hamdulillâh berisi gambaran tentang sifat-sifat Allah. Pertama mengindikasikan keagungan, kedua mengindikasikan keindahan. Kalimat subhânallâh melihat kepada jauhnya hamba dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sementara, kalimat alhamdulillâh melihat kepada dekatnya Allah lewat kasih sayang dan kelembutannya pada hamba dan makhluk. Mentari demikian dekat darimu lewat hantaran panas dan cahayanya. Mentari memberikan pengaruh padamu lewat ijin Penciptanya yang telah menjadikannya sebagai cermin manifestasi nama-Nya, an-Nur, sekaligus menjadi pengantar karunia-Nya berupa panas dan cahaya padahal ia jauh darimu tak terjangkau oleh tanganmu. Dalam hal ini dirimu hanya menerima tanpa bisa memberikan pengaruh. Nah, demikian pula dengan Allah. Allah memiliki perumpamaan yang paling mulia. Dia dekat dengan kita sehingga kita puji. Namun, kita jauh dari-Nya sehingga kita sucikan. Karena itu, pujilah Allah ketika engkau melihat Dia begitu dekat lewat kasih sayang-Nya. Lalu, sucikan Dia ketika engkau melihat dirimu jauh dari-Nya. Jangan engkau mencampur antar dua kedudukan tersebut dan jangan menyatukan antara kedua pandangan itu agar kebenaran dan istikamah tetap bersamamu. Hanya saja, dengan syarat tidak mencampur, engkau boleh melihat kedekatan-Nya lewat sisi jauh serta melihat sisi jauh lewat sisi dekat. Terkait dengan kedua sisi itulah kita mengucap, “Subhânallâh wa bihamdih.”
Ketahuilah wahai pemburu dunia, engkau harus meninggalkan dunia karena empat alasan:[2]
Pertama, karena ia cepat lenyap, sementara sakit akibat lenyapnya dunia akan menghinakan sekaligus menghilangkan nikmat berhubungan dengan Tuhan.
Kedua, berbagai kenikmatannya menyusut dengan begitu banyak kepedihan yang menyertai dan keruh yang berkelanjutan.
Ketiga, sesuatu yang menantiku di mana engkau akan segera menemuinya setelah dari kubur tidak menerima perhiasan dunia sebagai hadiah. Pasalnya, di sana ia berubah menjadi keburukan.
Keempat, ukurlah antara ketika engkau berada di satu tempat di tengah-tengah musuh, makhluk yang mengganggu, dan serangga berbahaya dengan ketika engkau berada di satu tempat selama bertahun-tahun di tempat lain di mana di dalamnya engkau bersama para kekasih dan kerabat dekatmu. Karena itu, responlah seruan Allah sebelum engkau diseret kepada-Nya dengan rantai.
------------------------------
[1] Penjelasannya terdapat dalam al-lawami hal. 847 dari buku al-kalimât.
[2] Maksud dari meninggalkannya adalah karena ia merupakan milik Allah. Ia hanya boleh dilihat dengan ijin dan nama-Nya (al-Kalimât hal. 227).
Ketahuilah bahwa kalimat subhanallâh wal hamdulillâh berisi gambaran tentang sifat-sifat Allah. Pertama mengindikasikan keagungan, kedua mengindikasikan keindahan. Kalimat subhânallâh melihat kepada jauhnya hamba dari Allah Yang Mahatinggi dan Mahaagung. Sementara, kalimat alhamdulillâh melihat kepada dekatnya Allah lewat kasih sayang dan kelembutannya pada hamba dan makhluk. Mentari demikian dekat darimu lewat hantaran panas dan cahayanya. Mentari memberikan pengaruh padamu lewat ijin Penciptanya yang telah menjadikannya sebagai cermin manifestasi nama-Nya, an-Nur, sekaligus menjadi pengantar karunia-Nya berupa panas dan cahaya padahal ia jauh darimu tak terjangkau oleh tanganmu. Dalam hal ini dirimu hanya menerima tanpa bisa memberikan pengaruh. Nah, demikian pula dengan Allah. Allah memiliki perumpamaan yang paling mulia. Dia dekat dengan kita sehingga kita puji. Namun, kita jauh dari-Nya sehingga kita sucikan. Karena itu, pujilah Allah ketika engkau melihat Dia begitu dekat lewat kasih sayang-Nya. Lalu, sucikan Dia ketika engkau melihat dirimu jauh dari-Nya. Jangan engkau mencampur antar dua kedudukan tersebut dan jangan menyatukan antara kedua pandangan itu agar kebenaran dan istikamah tetap bersamamu. Hanya saja, dengan syarat tidak mencampur, engkau boleh melihat kedekatan-Nya lewat sisi jauh serta melihat sisi jauh lewat sisi dekat. Terkait dengan kedua sisi itulah kita mengucap, “Subhânallâh wa bihamdih.”
Ketahuilah wahai pemburu dunia, engkau harus meninggalkan dunia karena empat alasan:[2]
Pertama, karena ia cepat lenyap, sementara sakit akibat lenyapnya dunia akan menghinakan sekaligus menghilangkan nikmat berhubungan dengan Tuhan.
Kedua, berbagai kenikmatannya menyusut dengan begitu banyak kepedihan yang menyertai dan keruh yang berkelanjutan.
Ketiga, sesuatu yang menantiku di mana engkau akan segera menemuinya setelah dari kubur tidak menerima perhiasan dunia sebagai hadiah. Pasalnya, di sana ia berubah menjadi keburukan.
Keempat, ukurlah antara ketika engkau berada di satu tempat di tengah-tengah musuh, makhluk yang mengganggu, dan serangga berbahaya dengan ketika engkau berada di satu tempat selama bertahun-tahun di tempat lain di mana di dalamnya engkau bersama para kekasih dan kerabat dekatmu. Karena itu, responlah seruan Allah sebelum engkau diseret kepada-Nya dengan rantai.
------------------------------
[1] Penjelasannya terdapat dalam al-lawami hal. 847 dari buku al-kalimât.
[2] Maksud dari meninggalkannya adalah karena ia merupakan milik Allah. Ia hanya boleh dilihat dengan ijin dan nama-Nya (al-Kalimât hal. 227).
No Voice