Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 141
(1-357)
Mahasuci Allah. Betapa besar karunia Allah atas manusia. Dia membeli dengan harga mahal dari manusia harta yang sebetulnya merupakan titipan-Nya yang dipercayakan untuk dibawa dan dijaga oleh manusia. Jika manusia tidak mau menjual kepada-Nya ia akan berada dalam bencana besar. Andaikan ia memikulnya sendiri tentu akan mematahkan punggungnya. Andaikan ia pegang sendiri, tentu akan segera lenyap dan hilang sia-sia, sementara ia mewarisi dosa dan beban berat.
Ketahuilah bahwa ucapan berikut ini benar-benar terwujud dalam diriku,
Mataku telah terlelap di malam masa muda
Ia baru sadar di waktu subuh yang telah beruban
Waktu sadar yang paling berat adalah di saat muda. Saat ini aku merasa ia merupakan masa tidur yang paling lelap. Orang-orang yang tercerahkan dan terbangun dalam pandangan materialisme, sama seperti kondisi sadarku di masa lalu. Mereka seperti orang yang bermimpi bahwa dirinya sadar lalu menceritakan mimpinya kepada sejumlah orang. Padahal, ia justru sedang melewati tingkatan tidur yang ringan kepada tidur yang lelap. Siapa yang tidur semacam itu maka ia seperti orang mati. Bagaimana mungkin membangunkan orang yang mengantuk berat dan memberitahukan sesuatu kepada orang yang sedang tertidur lelap?
Wahai yang berada di antara kondisi terjaga dan tertidur, jangan mendekati kaum materialis dengan toleransi agama dan sikap menyerupai mereka lantaran mengira bahwa diri kalian adalah jembatan untuk mendekati mereka sekaligus mengisi lembah antar kita. Tidak, jarak antara kaum beriman dan kaum kafir tidak terhingga. Lembah antar kita juga sangat dalam tak mungkin diisi. Sebaliknya, justru engkau yang akan mengikuti mereka atau tersesat jauh.
Ketahuilah bahwa dalam esensi maksiat—terutama jika berkepanjangan dan banyak—terdapat benih-benih kekufuran. Pasalnya, maksiat membuat seseorang menjadi terbiasa dengannya, melahirkan ujian, dan bahkan menjadi penyakit yang hanya bisa diobati dengan terus melakukannya sehingga ada alasan untuk tidak meninggalkan. Dalam kondisi demikian, si pelaku mengimpikan ketiadaan hukuman atasnya serta secara tidak sadar berupaya mencari dalil yang menunjukkan tidak adanya siksa. Keadaan ini terus berlangsung sehingga mengantarkannya kepada sikap mengingkari siksa dan menolak keberadaan negeri hukuman. Begitulah, maksiat yang dilakukan tanpa rasa menyesal dan gundah membuat pelakunya mengingkari maksiat sebagai maksiat, sekaligus mengingkari malaikat pengawas yang melihatnya. Lebih dari itu, ia berharap hisab tidak ada. Kalau kebetulan bertemu dengan ilusi yang menafikan keberadaannya, ia anggap hal itu sebagai petunjuk yang terang. Demikianlah hingga akhirnya hal tersebut menghitamkan kalbu. Na’udzu billah.
Ketahuilah bahwa di antara kilau mukjizat Alquran seperti yang terdapat dalam al-lawâmi’ yang berisi penjelasan tentang empat puluh macam kemukjizatannya dan kesempurnaan retorikanya adalah sebagai berikut:
No Voice