Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 168
(1-357)
Ketahuilah[1] bahwa berbagai perantara yang secara lahiriah menjadi pengantar nikmat untukmu entah ia memiliki kehendak (manusia) atau tidak (binatang atau tumbuhan), sebenarnya ia memberi kepadamu atas nama Allah. Karena itu, ambil dan makanlah dengan nama Allah dan hadapkan wajah kepada-Nya dengan penuh rasa syukur. Jika sarana atau perantara tersebut memiki kehendak (berupa manusia) janganlah kau ambil dan kau makan darinya sebelum disebut dan diingat nama Allah. Yakni, sebelum engkau mengingat Pemiliknya yang hakiki dan dengan mengarahkan pandangan-Mu kepadanya sebagaimana disebutkan dalam ayat,
Janganlah engkau memakan sesuatu yang nama Allah tidak disebutkan padanya.[2]
Jika ia tidak ingat, engkau yang harus mengingat-Nya. Arahkan pandanganmu darinya menuju Zat yang memberikan nikmat kepadamu dan kepadanya. Lihatlah pemberian nikmat pada nikmat tersebut. Lalu, dari sana lihatlah Sang Pemberi nikmat hakiki. Bersyukurlah kepada-Nya dengan cara pandang tersebut. Sebab, ia merupakan bentuk rasa syukur. Kemudian, engkau bisa kembali melihat perantara tadi seraya mendoakannya lantaran telah menjadi sebab sampainya nikmat. Jangan sampai yang pertama kali engkau lihat wahai kalbuku pemberi nikmat lahiri.
Kesimpulannya, bismillâh harus dua kali diingat pada perantara yang memiliki kehendak (manusia) dan satu kali pada perantara yang lain. Wahai diri, jangan engkau mengira keterkaitan sebab-akibat membuatmu mengaitkan antara sampainya nikmat dengan perbuatan seseorang sehingga orang yang mempunyai pandangan terbatas melihat perbuatan itulah yang menjadi sebabnya. Itu sama sekali tidak benar. Juga jangan sampai ketiadaan nikmat di saat tidak ada sesuatu dijadikan dalil bahwa keberadaan sesuatu tersebut adalah sebab bagi keberadaannya. Pasalnya, sebuah hasil atau akibat bisa jadi terkait dengan ribuan faktor. Sesuai sunnatullah, nikmat tersebut mungkin tidak ada lantaran ketiadaan satu bagian meski merupakan faktor yang paling lemah atau sepele. Bolehkah orang yang membuka pipa air sehingga air mengalir ke benih yang kemudian benih itu menjadi pohon dan bulir, mengaku bahwa pohon tadi merupakan kreasi, kekuasaan, dan aset miliknya?! Persoalan ini merupakan neraca untuk mengukur sejauh mana tingkat kemusyrikan yang tersembunyi.
Wahai kalbu, jangan sampai anugerah yang tercurah kepada jamaah atau yang tampak padanya serta terwujud dari berbagai upayanya engkau nisbatkan pada dirimu atau kepada wakil, ustadz, dan kepada mursyid jamaah. Sebab, di samping hal itu merupakan bentuk kezaliman besar, orang yang dinisbatkan akan jatuh ke dalam sikap lupa diri dan egoisme, sementara yang menisbatkan akan terperangkap dalam satu bentuk syirik yang samar. Pasalnya, perantara mengambil alih posisi tujuan, serta sang penjaga pintu memakai pakaian penguasa.
-------------------------------------
[1] Bahasan keempat dari memoar ketiga belas dari cahaya ketujuh belas menjelaskan persoalan ini.
[2] Q.S. al-An’am: 121.
Janganlah engkau memakan sesuatu yang nama Allah tidak disebutkan padanya.[2]
Jika ia tidak ingat, engkau yang harus mengingat-Nya. Arahkan pandanganmu darinya menuju Zat yang memberikan nikmat kepadamu dan kepadanya. Lihatlah pemberian nikmat pada nikmat tersebut. Lalu, dari sana lihatlah Sang Pemberi nikmat hakiki. Bersyukurlah kepada-Nya dengan cara pandang tersebut. Sebab, ia merupakan bentuk rasa syukur. Kemudian, engkau bisa kembali melihat perantara tadi seraya mendoakannya lantaran telah menjadi sebab sampainya nikmat. Jangan sampai yang pertama kali engkau lihat wahai kalbuku pemberi nikmat lahiri.
Kesimpulannya, bismillâh harus dua kali diingat pada perantara yang memiliki kehendak (manusia) dan satu kali pada perantara yang lain. Wahai diri, jangan engkau mengira keterkaitan sebab-akibat membuatmu mengaitkan antara sampainya nikmat dengan perbuatan seseorang sehingga orang yang mempunyai pandangan terbatas melihat perbuatan itulah yang menjadi sebabnya. Itu sama sekali tidak benar. Juga jangan sampai ketiadaan nikmat di saat tidak ada sesuatu dijadikan dalil bahwa keberadaan sesuatu tersebut adalah sebab bagi keberadaannya. Pasalnya, sebuah hasil atau akibat bisa jadi terkait dengan ribuan faktor. Sesuai sunnatullah, nikmat tersebut mungkin tidak ada lantaran ketiadaan satu bagian meski merupakan faktor yang paling lemah atau sepele. Bolehkah orang yang membuka pipa air sehingga air mengalir ke benih yang kemudian benih itu menjadi pohon dan bulir, mengaku bahwa pohon tadi merupakan kreasi, kekuasaan, dan aset miliknya?! Persoalan ini merupakan neraca untuk mengukur sejauh mana tingkat kemusyrikan yang tersembunyi.
Wahai kalbu, jangan sampai anugerah yang tercurah kepada jamaah atau yang tampak padanya serta terwujud dari berbagai upayanya engkau nisbatkan pada dirimu atau kepada wakil, ustadz, dan kepada mursyid jamaah. Sebab, di samping hal itu merupakan bentuk kezaliman besar, orang yang dinisbatkan akan jatuh ke dalam sikap lupa diri dan egoisme, sementara yang menisbatkan akan terperangkap dalam satu bentuk syirik yang samar. Pasalnya, perantara mengambil alih posisi tujuan, serta sang penjaga pintu memakai pakaian penguasa.
-------------------------------------
[1] Bahasan keempat dari memoar ketiga belas dari cahaya ketujuh belas menjelaskan persoalan ini.
[2] Q.S. al-An’am: 121.
No Voice