Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 169
(1-357)
Jangan sampai ketika ada karunia yang sampai kepadamu lewat seseorang engkau merasa bahwa ia bersumber darinya. Namun, ia hanya bayangan dan pantulannya. Bahkan, bisa jadi ia bukan sumber dan bukan pula bayangannya. Lebih dari itu, karena engkau memusatkan perhatian padanya, engkau membayangkan anugerah yang tercurah kepadamu dari Tuhan ke dalam kalbu seolah-olah pertama-tama terwujud pada mursyidmu (pembimbingmu) lalu baru memantul kepadamu. Ini seperti orang yang memusatkan perhatian pada satu kaca sehingga pikirannya berada di alam idealita. Ia menyaksikan berbagai hal menakjubkan lalu mengira hal itu terwujud pada kaca. Hal tersebut tidak benar.[1]

Ketahuilah[2] wahai yang bersandar kepada sebab, engkau telah berbuat sia-sia. Sebagai contoh, apabila engkau melihat istana menakjubkan yang terbuat dari permata indah yang ketika dibangun sebagiannya hanya terdapat di Cina, sebagian lagi di Andalusia, sebagian terdapat di Yaman, dan sebagian di Siberia, dan seterusnya, bukankah engkau menyaksikan bahwa istana tersebut adalah bangunan yang dibangun oleh pihak yang menguasai dunia yang dapat mengambil dari berbagai penjurunya apa saja yang ia kehendaki dalam waktu sangat cepat?!

Demikianlah setiap makhluk pada hakikatnya adalah bangunan. Setiap hewan adalah istana ilahi; terutama manusia. Ia merupakan istana yang paling indah sekaligus paling menakjubkan. Pasalnya, kebutuhannya terbentang abadi, harapannya tersebar di berbagai penjuru langit dan bumi, serta ikatannya terbentuk di antara berbagai fase kehidupan dunia dan akhirat. Maka, wahai manusia, engkau tidak layak berdoa dan menyembah kecuali Zat yang mengontrol bumi dan langit sekaligus menguasai kendali dunia dan akhirat.

Ketahuilah[3] wahai kalbu bahwa orang yang dungu yang tidak mengenal mentari, ketika melihat bayangan mentari di cermin ia menyukai cermin tersebut dan berusaha sekuat tenaga agar mentari itu tetap ada di dalamnya. Apabila ia berpikir bahwa mentari tidak akan lenyap seiring dengan kepergian cermin serta tidak akan hilang ketika cermin itu rusak, tentu ia akan menghadapkan wajah ke mentari dengan penuh cinta. Pasalnya, yang tampak di cermin tidak kekal. Yang kekal adalah aslinya. Sementara kekekalannya tidak bergantung dengan cermin tadi; namun dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, kehidupan dan kilau cermin tetap terpelihara dengan keberadaan pantulan mentari. Mentari itulah yang membuat pantulan tadi ada. Wahai diri, kalbu dan dirimu berupa cermin. Kecintaan pada hidup yang terdapat dalam fitrahmu bukan untuknya; tetapi untuk sesuatu yang terdapat di dalamnya. Karena itu, ucapkanlah, “Wahai Yang Mahakekal, Engkau Mahakekal. Selama engkau kekal kefanaan boleh berbuat apa saja kami tidak peduli dengan apa yang terjadi.”
----------------------------------------------
[1] Persoalan kelima dari memoar ketujuh.

[2] Lihat petunjuk pertama dari memoar keempat belas.

[3] Petunjuk kedua dari memoar yang sama.
No Voice