Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 177
(1-357)
Yang menjadi perhatian utama muridmu adalah perut, kemaluan, dan kepentingan kelompok. Itupun bukan benar-benar untuk kepentingan kelompoknya; namun untuk kepentingan diri, atau untuk memuaskan rasa tamak dan keangkuhannya. Yang ia cintai hanya dirinya. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuknya.

Adapun murid Alquran yang tulus, ia adalah hamba. Namun, ia tidak mau diperbudak oleh makhluk paling agung sekalipun atau oleh manfaat paling besar, meski berupa sorga. Ia sederhana dan lembut, namun tidak mau mau tunduk kepada selain Penciptanya kecuali dengan ijin-Nya.

Ia juga fakir, namun merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Pemiliknya yang Maha Pemurah. Ia lemah, namun bersandar kepada kekuatan Tuannya yang memiliki kekuatan tak terbatas. Murid Alquran yang hakiki tidak menginginkan meski sorga yang abadi sebagai maksud dan tujuannya. Apalagi dunia yang bersifat sementara. Maka, perhatikanlah perbedaan yang sangat jauh antara dua murid di atas.

Murid Alquran melihat sesuatu yang paling besar, misalnya arasy dan mentari, sebagai makhluk yang lemah, tunduk, dan mendapat perintah. Dalam jiwanya terdapat hubungan yang sangat kuat dengan semua orang saleh entah yang tinggal di langit ataupun di bumi. Ia mendoakan mereka dari lubuk hatinya sebagaimana seseorang mendoakan keluarganya.

Perhatikan perbedaan antara dua sifat murid tersebut. Yang pertama menjauhi saudaranya untuk kepentingan dirinya, sementara yang kedua melihat seluruh hamba sebagai saudara. Sebagai ganti dari tasbih yang dikenal, Alquran memberikan kepada para muridnya bilangan partikel alam sebagai sarana bagi mereka untuk bertasbih menyucikan Allah. Sebagai ganti dari tasbih yang berjumlah sembilan puluh sembilan, di tangan mereka terdapat rangkaian seluruh partikel alam. Mereka membaca wirid dengan tasbih yang menakjubkan itu. Mereka juga berzikir mengingat Tuhan sebanyak jumlah tersebut bahkan lebih. Perhatikan murid-murid Alquran yang terdiri dari para wali semacam Abdul Qadir al-Jilani, ar-Rifâ’`i,[1] dan asy-Syadzili. Bagaimana mereka menjadikan rangkaian partikel, tetesan, serta seluruh makhluk sebagai tasbih untuk mengingat Allah. Bahkan mereka memandang hal itu sedikit sehingga masih mengulurkan tangan menuju bilangan informasi Tuhan yang tak terhingga. Lihatlah manusia yang mudah jatuh hanya oleh mikroba paling kecil dan bencana yang paling ringan, bagaimana jiwanya menjadi mulia berkat tuntunan Alquran sehingga memandang dunia demikian rendah untuk menjadi tasbih bagi wiridnya dan enggan menjadikan sorga sebagai objek zikirnya. Meski demikian, ia tidak melihat dirinya memiliki kemuliaan atas makhluk yang paling rendah sekalipun.
--------------------------------------------
[1] Ar-Rifa’I (512-578) adalah Ahmad bin Ali bin yahya bin ar-Rifa’I, Abul Abbas. Ia seorang imam yang zuhud dan pendiri tarekat Rifaiyyah. Ia lahir di kampung Hasan di Wasith, Irak pada tahun 512 H. Ia belajar dan menuntut ilmu di sana. Lalu tinggal di kampung Ummu Ubaydah di Batha’ih (antara Wasith dan Bashrah). Ia wafat di sana pada tahun 578 H. Lihat Wafayâtul A’yân 1/55, ath-Thabaqâtul Kubra 1/140, Nurul Abshar 220, al-A’lâm 1/174, Jâmi Karamâtil Awliya` 1/490.
No Voice