Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 194
(1-357)
Ya, ketika cahaya kebenaran tertutup dariku
Tiba-tiba akal berubah menjadi siksa, keabadian berubah menjadi bencana, dan kesempurnaan menjadi sia-sia. Lalu usia berlalu bagaikan dihembus angin.
Ya, tanpa keberadaannya, ilmu berbalik menjadi ilusi.
Hikmah berubah menjadi derita, cahaya menjadi kegelapan, dan kehidupan menjadi mati, serta segala sesuatu menjadi musuh.
Kurasakan bahaya pada segala sesuatu.
Harapan berubah menjadi penderitaan.
Wujud pun menjadi tiada serta hubungan menjadi lenyap
Derita menekanku dengan sesuatu yang tidak abadi.
Ya, selama engkau tidak menemukan Allah, segala sesuatu menjadi musuh.
Sakit dalam sakit, bahkan ia merupakan sakit itu sendiri.
Namun, jika engkau menemukan Allah, hal itu hanya terwujud dengan meninggalkan segalanya.
Lewat cahaya tersebut aku bisa melihat sorga di dunia.
Yang mati pun tampak seperti hidup.
Suara menjadi seperti zikir dan tasbih.
Semuanya menjadi teman dan kenikmatan terletak dalam penderitaan.
Kehidupan berubah menjadi cermin yang memantulkan cahaya kebenaran.
Keabadian kulihat terdapat dalam kefanaan.
Semua partikel mengucap zikir.
Ia keluar dari lisannya dan memancar dari matanya.
Ia menjadi bukti dan saksi kebenaran.
Pada segala sesuatu menjadi tanda bagi-Nya
Yang menunjukkan bahwa Dia esa
Ketahuilah![1] Wahai yang mengira kenikmatan dan kebahagiaan terdapat dalam kelalaian dan sikap meninggalkan agama!
Satu ketika aku pernah mendapatkan sebuah pengalaman. Kulihat diriku berada di atas jembatan yang membentang di antara dua puncak gunung yang tinggi. Di bawahnya terdapat lembah yang sangat dalam. Dunia berikut semua yang ada di dalamnya demikian gelap. Kemudian aku melihat ke sisi kanan masa laluku. Yang terlihat hanya gelapnya ketiadaan. Lalu menengok ke sisi kiri masa depanku, ia juga berupa kegelapan yang demikian mengerikan. Setelah itu aku melihat ke bawah. Kulihat sebuah kedalaman hingga ke tingkat yang paling bawah. Kemudian, aku melihat ke atas, yang ada adalah gumpalan awan yang bisu dan tuli yang menurunkan kerisauan, kenestapaan, dan keputusasaan. Selanjutnya, di depanku terlihat dari celah-celah kegelapan yang ada sejumlah ifrit, kalajengking, singa, dan serigala dengan gigi yang siap memangsa. Lalu, di belakangku tidak ada bantuan, penolong, dan pelindung sama sekali.
Ketika berada dalam kondisi gelisah, putus asa, tiba-tiba hidayah Tuhan menyadarkanku. Kulihat bulan Islam dan mentari Alquran datang menyinari manusia. Kusaksikan jembatan kehidupan berupa jalan yang menyusuri taman-taman karunia Tuhan yang berujung ke sorga rahmat-Nya.
-------------------------------------
[1] Penjelasan tentang perumpanaan ini terdapat dalam “Kalimat kedua puluh tiga”.
Tiba-tiba akal berubah menjadi siksa, keabadian berubah menjadi bencana, dan kesempurnaan menjadi sia-sia. Lalu usia berlalu bagaikan dihembus angin.
Ya, tanpa keberadaannya, ilmu berbalik menjadi ilusi.
Hikmah berubah menjadi derita, cahaya menjadi kegelapan, dan kehidupan menjadi mati, serta segala sesuatu menjadi musuh.
Kurasakan bahaya pada segala sesuatu.
Harapan berubah menjadi penderitaan.
Wujud pun menjadi tiada serta hubungan menjadi lenyap
Derita menekanku dengan sesuatu yang tidak abadi.
Ya, selama engkau tidak menemukan Allah, segala sesuatu menjadi musuh.
Sakit dalam sakit, bahkan ia merupakan sakit itu sendiri.
Namun, jika engkau menemukan Allah, hal itu hanya terwujud dengan meninggalkan segalanya.
Lewat cahaya tersebut aku bisa melihat sorga di dunia.
Yang mati pun tampak seperti hidup.
Suara menjadi seperti zikir dan tasbih.
Semuanya menjadi teman dan kenikmatan terletak dalam penderitaan.
Kehidupan berubah menjadi cermin yang memantulkan cahaya kebenaran.
Keabadian kulihat terdapat dalam kefanaan.
Semua partikel mengucap zikir.
Ia keluar dari lisannya dan memancar dari matanya.
Ia menjadi bukti dan saksi kebenaran.
Pada segala sesuatu menjadi tanda bagi-Nya
Yang menunjukkan bahwa Dia esa
Ketahuilah![1] Wahai yang mengira kenikmatan dan kebahagiaan terdapat dalam kelalaian dan sikap meninggalkan agama!
Satu ketika aku pernah mendapatkan sebuah pengalaman. Kulihat diriku berada di atas jembatan yang membentang di antara dua puncak gunung yang tinggi. Di bawahnya terdapat lembah yang sangat dalam. Dunia berikut semua yang ada di dalamnya demikian gelap. Kemudian aku melihat ke sisi kanan masa laluku. Yang terlihat hanya gelapnya ketiadaan. Lalu menengok ke sisi kiri masa depanku, ia juga berupa kegelapan yang demikian mengerikan. Setelah itu aku melihat ke bawah. Kulihat sebuah kedalaman hingga ke tingkat yang paling bawah. Kemudian, aku melihat ke atas, yang ada adalah gumpalan awan yang bisu dan tuli yang menurunkan kerisauan, kenestapaan, dan keputusasaan. Selanjutnya, di depanku terlihat dari celah-celah kegelapan yang ada sejumlah ifrit, kalajengking, singa, dan serigala dengan gigi yang siap memangsa. Lalu, di belakangku tidak ada bantuan, penolong, dan pelindung sama sekali.
Ketika berada dalam kondisi gelisah, putus asa, tiba-tiba hidayah Tuhan menyadarkanku. Kulihat bulan Islam dan mentari Alquran datang menyinari manusia. Kusaksikan jembatan kehidupan berupa jalan yang menyusuri taman-taman karunia Tuhan yang berujung ke sorga rahmat-Nya.
-------------------------------------
[1] Penjelasan tentang perumpanaan ini terdapat dalam “Kalimat kedua puluh tiga”.
No Voice