Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 26
(1-357)
Keteraturan yang luar biasa, rahmat-Nya yang demikian luas, ciptaan-Nya yang sangat sempurna tanpa cacat, serta keindahan yang tanpa cela sehingga orang semacam al-Ghazali berkata, “Tidak ada yang lebih indah darinya,” mungkinkah itu semua dihiasi dan digantikan oleh keburukan, kezaliman, dan kerancuan?! Pasalnya, mendengar dan memperhatikan suara yang paling hina pada makhluk yang paling rendah, terkait dengan kebutuhan yang paling sederhana, sementara di sisi lain tidak mau mendengar dan mengabulkan suara, doa, dan kebutuhan yang paling mulia, hal itu merupakan sesuatu yang paling buruk dan cacat. Hal itu tidak mungkin terjadi. Keindahan yang tanpa aib tersebut tidak mungkin menerima keburukan tadi. Jika tidak, tentu berbagai hakikat di atas akan berbalik dari baik menjadi buruk.

Percikan Ketiga Belas

Wahai sahabatku dalam petualangan yang menakjubkan ini, tidakkah apa yang kau saksikan sudah cukup?! Jika engkau ingin menjangkau seluruhnya tidak akan mampu. Namun, kalau engkau tetap berada di jazirah ini selama seratus tahun kita tidak akan bosan memandang satu bagian dari seratus bagian keajaiban tugas dan aksinya. Marilah kita kembali dan melihat generasi demi generasi, bagaimana semuanya demikian hijau dan mendapat curahan karunia dari era pertama tadi.

Ya, kita melihat semua generasi yang kita lalui bunganya mekar oleh mentari era kebahagiaan tersebut. Generasi seperti Abu Hanifah,[1] asy-Syafii,[2] Abu Yazid al-Bustami,[3] al-Junayd al-Baghdadi,[4] Syeikh Abdul Qadir al-Jilani,[5] Imam al-Ghazali, Muhyiddin ibn Arabi,[6] Abul Hasan al-Syâdzily,[7] Syah al-Naqsyaband,[8] al-Imam al-Rabbani, dan yang lain adalah ribuan buah bersinar yang bersumber dari limpahan petunjuk beliau.
----------------------------------------------------
[1] Abu Hanifah (80-150 H) bernama Nu’man ibn Tsabit. Pendiri madzhab Hanafi, seorang fakih dan mujtahid. Ia salah seorang imam yang empat menurut ahlu sunnah. Lahir dan besar di Kufah, serta meninggal di Bagdad. Ia memiliki sejumlah tulisan. Di antaranya, Musnad dalam bidang hadits yang dikumpulkan oleh para muridnya, lalu al-Fiqh al-Akbar dan al-Makhârij dalam bidang fikih. (al-A’lam karya az-Zarkaly, 8/36).
[2] Asy-Syafii (150-204 H) salah seorang imam ahlu sunnah yang empat. Lahir di Gaza, Palestina dan dibawa ke Mekkah pada saat berusia dua tahun. Ia mengunjungi Bagdad dua kali, lalu pergi menuju Mesir pada tahun 199 H dan meninggal di sana. Kuburannya dikenal di Kairo. Ia termasuk keturunan Quraisy yang pandai memanah. Selain itu, ia mahir dalam bidang syair, bahasa dan sejarah Arab. Kemudian ia menekuni fikih dan hadits, serta mengeluarkan fatwa pada saat usianya baru menginjak dua puluh tahun. Ia memiliki banyak tulisan. Di antaranya yang terkenal adalah al-Umm dalam bidang fikih dan Ahkam al-Qur’ân (al-A’lam 6/26).
[3] Abu Yazid al-Bustami (188-261 H) bernama Thoyfur ibn Isa al-Bustami. Abu Yazid adalah seorang zuhud yang terkenal. Berasal dari daerah Bustam dan meninggal di sana (antara Khurasan dan Irak).
[4] Ia adalah Junayd ibn Muammad (Abul Qasim al-zajja al-Qawariry) wafat tahun 297 H/ 1910 M. Seorang sufi yang zuhud sekaligus pemimpinnya. Lahir dan meninggal di Baghdad. Belajar ilmu fikih dari Sofyan al-Tsauri dan ilmu tasawwuf dari pamannya, al-Saiy al-Saqathy.
[5] Abdul Qadir al-Jilani adalah putra dari Abu Salih Abu Muhammad al-Jaily. Lahir di Jaylan tahun 470 H. lalu masuk Baghdad dan mendengar dan mempelajari hadits dari Abu Said al-Makhrami al-Hambali. Ia salah seorang qutub yang terkenal di kalangan ahlu sunnah wal jamaah, serta seorang pembaharu besar. Banyak di antara kaum muslimin yang menjadi muridnya serta banyak pula kalangan yahudi dan Nasrani yang masuk Islam lewat tangannya. Di antara tulisannya adalah buku al-Ghuniyah, Futûh al-Ghayb, dan al-Fath al-Rabbany. Ia wafat di Baghdad pada tahun 561 H.
[6] Muhyiddin Ibn Arabi adalah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Arabi, Abu Abdullah ath-Tha’I al-Andalusi yang dikenal dengan Ibnu Arabi dan dijuluki sebagai Syeikh al-Akbar. Lahir di Andalusia tahun 560 H dan meninggal di Damaskus pada tahun 638 H. Di antara tulisannya Fushûs al-Hikam dan al-Futûhât al-Makkiyyah.
[7] Al-Syadzily (591 -656 H) adalah Ali ibn Abdullah ibn Abdul Jabbar al-Syadzily. Syadzilah adalah sebuah desa di Afrika. Ia seorang zuhud yang singgah dan menetap di Iskandariyah. Pemimpin tarekat asy-Syadziliyyah dan penulis sejumlah wirid yang disebut dengan Hizb asy-Syadziliy.
[8] Al-Naqsyaband adalah Muhammad Bahâ`uddin, pendiri Tarekat an-Naqsyabandiyyah. Lahir di daerah Qasr al-Arifan, dekat Bukhara. Menuntut ilmu di Samarkand, menikah pada usia delapan belas tahun, serta menisbatkan diri kepada banyak guru. Terakhir ia kembali ke Bukhara hingga meninggal di sana. Di Bukhara ia mendirikan dan menyebarkan tarekatnya. Ia wafat tanggal 4 Rabiul Awal 791 H / 1389 M. yakni pada usia 73 tahun. Di antara tulisannya adalah Risâlat al-Waridat, al-Awrad al-Bahâ`iyyah, dan Tanbih al-Ghafilin.
No Voice