Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 75
(1-357)
Wahai yang melihat!
Hakikat yang detil dan halus ini terlihat lewat keberadaannya yang demikian jelas. Engkau melihat bahwa “ego” dalam diri manusia yang tumbuh lewat air kelalaian merupakan “titik hitam” yang menjadi standar untuk memahami Penciptanya yang tidak memiliki sekutu; baik dalam kerajaan, pemeliharaan, maupun uluhiyah-Nya.
Pasalnya, pengetahuan manusia tentang sesuatu bersifat relatif dan analogis. Pemahaman tentang sifat-sifat Allah yang mencakup dan tak terbatas terwujud lewat asumsi keberadaan batasan. Dalam hal ini “ego” telah mengabaikan batasannya. Ia menghayalkan batasan yang ada lalu membuat analogi dan memahami. Setelah itu ia kembali kepada batasannya. Maka, anggapan tentang keberadaan batasan tadi itupun hilang.
Seperti telah disebutkan bahwa diri ini bukan merupakan milik sendiri dan bukan pula milik tubuhnya. Ia juga bukan barang temuan atau hasil dari sebuah proses kebetulan. Ia tidak terbentuk dengan sendirinya. Namun, ia sebuah mesin ilahi yang halus dan menakjubkan. Setiap waktu pena ilahi lewat qada dan qadar bekerja di dalamnya.
Karena itu, wahai jiwa!
Buanglah segala pengakuan dusta! Serahkan kepemilikannya kepada Pemilik hakiki. Hendaknya engkau jujur dalam menjaga amanah tersebut.
Wahai jiwa, engkau bukan pemilik dirimu. Jika mengaku sebagai pemilik, tentu Engkau yang mencipta dan menghadirkan tubuh ini. Atau, ia diciptakan oleh sebab yang kemudian kau rampas. Bagaimana mungkin engkau mencipta, sementara engkau sendiri adalah saudara kambing (sebagai makhluk)?
Bagaimana mungkin kambing mengaku telah menciptakan tubuhnya, sementara ia merupakan saudaranya delima?!
Lalu, bagaimana mungkin delima menciptakan benihnya sendiri?!
Kemudian bagaimana mungkin buah yang terdapat di pohon menciptakan pohonnya?!
Jika memang demikian adanya, engkau boleh mengaku sebagai pemilik dirimu
Pada sisi lain, ciptaan menyeru dengan suara yang paling nyaring bahwa ia merupakan ciptaan Zat Yang Maha Mengetahui, Bijaksana, Mendengar, dan Melihat lewat sebuah sistem dan neraca. Sementara, sebab adalah sesuatu yang buta, tuli, dan mati. Semakin terkumpul dan menyatu, ia semakin buta dan tuli. Pasalnya, menyatunya penyakit buta dan tuli hanya menambah buta dan tuli. Keberadaan sebab jika dinisbatkan ke tubuh sama seperti cawan obat di apotek yang dinisbatkan kepada racikan obat yang memiliki khasiat istimewa di mana ia diambil dari masing-masing bahan dengan ukuran yang jelas tanpa ditambah dan dikurangi. Jika bertambah atau berkurang sedikit saja, khasiatnya berkurang. Apabila bahan-bahan kimiawi tadi bisa keluar dengan sendirinya dari setiap botol tanpa ada yang mengontrol padahal ukurannya berbeda—beda lalu racikan itu terwujud sendiri, maka engkau boleh menyatakan bahwa tubuh ini telah kau ambil dan kau miliki dari “tangan sebab”.
Hakikat yang detil dan halus ini terlihat lewat keberadaannya yang demikian jelas. Engkau melihat bahwa “ego” dalam diri manusia yang tumbuh lewat air kelalaian merupakan “titik hitam” yang menjadi standar untuk memahami Penciptanya yang tidak memiliki sekutu; baik dalam kerajaan, pemeliharaan, maupun uluhiyah-Nya.
Pasalnya, pengetahuan manusia tentang sesuatu bersifat relatif dan analogis. Pemahaman tentang sifat-sifat Allah yang mencakup dan tak terbatas terwujud lewat asumsi keberadaan batasan. Dalam hal ini “ego” telah mengabaikan batasannya. Ia menghayalkan batasan yang ada lalu membuat analogi dan memahami. Setelah itu ia kembali kepada batasannya. Maka, anggapan tentang keberadaan batasan tadi itupun hilang.
Seperti telah disebutkan bahwa diri ini bukan merupakan milik sendiri dan bukan pula milik tubuhnya. Ia juga bukan barang temuan atau hasil dari sebuah proses kebetulan. Ia tidak terbentuk dengan sendirinya. Namun, ia sebuah mesin ilahi yang halus dan menakjubkan. Setiap waktu pena ilahi lewat qada dan qadar bekerja di dalamnya.
Karena itu, wahai jiwa!
Buanglah segala pengakuan dusta! Serahkan kepemilikannya kepada Pemilik hakiki. Hendaknya engkau jujur dalam menjaga amanah tersebut.
Wahai jiwa, engkau bukan pemilik dirimu. Jika mengaku sebagai pemilik, tentu Engkau yang mencipta dan menghadirkan tubuh ini. Atau, ia diciptakan oleh sebab yang kemudian kau rampas. Bagaimana mungkin engkau mencipta, sementara engkau sendiri adalah saudara kambing (sebagai makhluk)?
Bagaimana mungkin kambing mengaku telah menciptakan tubuhnya, sementara ia merupakan saudaranya delima?!
Lalu, bagaimana mungkin delima menciptakan benihnya sendiri?!
Kemudian bagaimana mungkin buah yang terdapat di pohon menciptakan pohonnya?!
Jika memang demikian adanya, engkau boleh mengaku sebagai pemilik dirimu
Pada sisi lain, ciptaan menyeru dengan suara yang paling nyaring bahwa ia merupakan ciptaan Zat Yang Maha Mengetahui, Bijaksana, Mendengar, dan Melihat lewat sebuah sistem dan neraca. Sementara, sebab adalah sesuatu yang buta, tuli, dan mati. Semakin terkumpul dan menyatu, ia semakin buta dan tuli. Pasalnya, menyatunya penyakit buta dan tuli hanya menambah buta dan tuli. Keberadaan sebab jika dinisbatkan ke tubuh sama seperti cawan obat di apotek yang dinisbatkan kepada racikan obat yang memiliki khasiat istimewa di mana ia diambil dari masing-masing bahan dengan ukuran yang jelas tanpa ditambah dan dikurangi. Jika bertambah atau berkurang sedikit saja, khasiatnya berkurang. Apabila bahan-bahan kimiawi tadi bisa keluar dengan sendirinya dari setiap botol tanpa ada yang mengontrol padahal ukurannya berbeda—beda lalu racikan itu terwujud sendiri, maka engkau boleh menyatakan bahwa tubuh ini telah kau ambil dan kau miliki dari “tangan sebab”.
No Voice