Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 77
(1-357)
Wahai “aku”, mengapa engkau merasa memiliki sesuatu yang bukan milikmu? Buang segala pengakuan batil itu. Pasalnya, ketika engkau merasa memiliki, engkau akan merasa sangat sakit. Perhatikan bagaimana kasih sayang menjadi hiasan jiwa. Andaikan ia dibangun di atas prasangkamu tersebut, tentu ia akan menjadi derita.
Contohnya apabila engkau melihat anak yatim seorang diri yang lemah dan miskin yang mempunyai sebuah rumah kecil di mana begitu banyak derita yang ia alami, tentu engkau merasa sakit dengan penderitaannya. Andaikan kondisinya bertambah parah, tentu engkau juga bertambah sedih dan lara. Namun, kalau engkau melihat salah seorang pasukan raja, rumahnya terbakar atau kendaraannya dirampas orang, engkau tidak akan sedih dengannya. Pasalnya, aset tersebut milik raja yang tidak akan terpengaruh sama sekali dengan kejadian tersebut serta pasukan itupun tidak akan merasa sangat terpukul dengan lenyapnya rumah tadi. Pasalnya, ia bukan miliknya; namun milik orang kaya yang hartanya lenyap oleh satu sebab. Jadi, rasa kasihan terhadap makhluk Allah adalah dilihat dari posisinya sebagai makhluk Allah. Ketika rasa kasihan itu bertambah, jiwa ini semakin tenang. Sebaliknya, rasa kasihan yang bersumber dari kelalaian dan dibangun di atas landasan rasa memiliki, ketika bertambah sedih, jiwa inipun semakin sakit dan kalbu semakin terpukul karena rasa duka.
Demikianlah pandangan yang dilandasi oleh iman dan tauhid. Ia melihat semua makhluk berbuat sebagaimana orang yang disewa di atas kapal milik raja yang bisa berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Pandangan semacam ini tidak melihat semut dan lebah yang kecil dan lemah melawan berbagai sebab yang menyerangnya. Namun, ia melihat semut dan lebah tadi berbuat di kapal darat dan udara dengan kendali yang bersambung kepada kekuasaan Zat Yang Mahakuasa. Seluruh sebab yang menyerang menjadi kecil dalam pandangan orang yang menaiki keduanya. Semut dan lebah melawan berbagai sebab—betapapun besarnya—dengan bersandar pada kekuatan Pemiliknya yang hakiki.
Ucapan yang diucapkan ketika musibah datang, “Innâ lillâh wa innâ ilayhi râ’ji’ûn” bermakna, “Harta ini adalah miliknya, aku berada dalam kendali-Nya, dan kepada-Nya aku kembali. Selama tidak berbuat salah tidak ada beban bagiku.” Perumpamaannya seperti seorang pasukan yang diserang oleh sejumlah orang untuk mengambil harta raja yang berada di tangannya. Orang itu berkata, “Aku dan harta ini ini milik raja dan akan menuju kepadanya. Jika memang dengan ijin-Nya tidak ada beban bagiku.” Namun, apabila ia melihat dengan pandangan merasa memiliki, belas kasihan yang ada berubah menjadi api yang membakar. Pasalnya, seluruh makhluk seperti yatim yang disebutkan di atas. Yang tampak di alam adalah upacara duka.
Contohnya apabila engkau melihat anak yatim seorang diri yang lemah dan miskin yang mempunyai sebuah rumah kecil di mana begitu banyak derita yang ia alami, tentu engkau merasa sakit dengan penderitaannya. Andaikan kondisinya bertambah parah, tentu engkau juga bertambah sedih dan lara. Namun, kalau engkau melihat salah seorang pasukan raja, rumahnya terbakar atau kendaraannya dirampas orang, engkau tidak akan sedih dengannya. Pasalnya, aset tersebut milik raja yang tidak akan terpengaruh sama sekali dengan kejadian tersebut serta pasukan itupun tidak akan merasa sangat terpukul dengan lenyapnya rumah tadi. Pasalnya, ia bukan miliknya; namun milik orang kaya yang hartanya lenyap oleh satu sebab. Jadi, rasa kasihan terhadap makhluk Allah adalah dilihat dari posisinya sebagai makhluk Allah. Ketika rasa kasihan itu bertambah, jiwa ini semakin tenang. Sebaliknya, rasa kasihan yang bersumber dari kelalaian dan dibangun di atas landasan rasa memiliki, ketika bertambah sedih, jiwa inipun semakin sakit dan kalbu semakin terpukul karena rasa duka.
Demikianlah pandangan yang dilandasi oleh iman dan tauhid. Ia melihat semua makhluk berbuat sebagaimana orang yang disewa di atas kapal milik raja yang bisa berbuat apa saja sesuai kehendaknya. Pandangan semacam ini tidak melihat semut dan lebah yang kecil dan lemah melawan berbagai sebab yang menyerangnya. Namun, ia melihat semut dan lebah tadi berbuat di kapal darat dan udara dengan kendali yang bersambung kepada kekuasaan Zat Yang Mahakuasa. Seluruh sebab yang menyerang menjadi kecil dalam pandangan orang yang menaiki keduanya. Semut dan lebah melawan berbagai sebab—betapapun besarnya—dengan bersandar pada kekuatan Pemiliknya yang hakiki.
Ucapan yang diucapkan ketika musibah datang, “Innâ lillâh wa innâ ilayhi râ’ji’ûn” bermakna, “Harta ini adalah miliknya, aku berada dalam kendali-Nya, dan kepada-Nya aku kembali. Selama tidak berbuat salah tidak ada beban bagiku.” Perumpamaannya seperti seorang pasukan yang diserang oleh sejumlah orang untuk mengambil harta raja yang berada di tangannya. Orang itu berkata, “Aku dan harta ini ini milik raja dan akan menuju kepadanya. Jika memang dengan ijin-Nya tidak ada beban bagiku.” Namun, apabila ia melihat dengan pandangan merasa memiliki, belas kasihan yang ada berubah menjadi api yang membakar. Pasalnya, seluruh makhluk seperti yatim yang disebutkan di atas. Yang tampak di alam adalah upacara duka.
No Voice