Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 95
(1-357)
Demikianlah aku menyaksikan bahwa wujud yang terdapat pada makhluk lewat perasaan ego mengantarkan kepada ketiadaan. Sebaliknya, ketiadaan yang terdapat padanya dengan meninggalkan perasaan ego mengarah kepada Zat Yang Wajib ada. Jika engkau mencintai wujud, hendaknya engkau merasa tiada agar bisa menemukan wujud sejati.
Niat adalah ruh. Ruh niat berupa ikhlas. Tidak ada keselamatan kecuali dengan ikhlas. Dengan niat amal yang banyak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan sorga bisa dibeli lewat apa yang diperbuat dalam waktu singkat tersebut sesuai dengan tekad tadi. Dengan niat, seseorang menjadi selalu bersyukur karena berbagai kenikmatan yang terdapat di dunia dipetik dengan dua cara:
Pertama, dengan niat seseorang menganggap nikmat bersambung kepada tangan Zat Yang Maha Penyayang dan Berbuat baik. Pandangannya beralih dari nikmat menuju pemberian nikmat. Dengan itu, ia lebih merasakan nikmat yang ada.
Kedua, ia hanya mencari nikmat semata sehingga pemberian nikmat tak pernah terpikirkan. Pandangannya terbatas pada nikmat dan kelezatan sehingga dianggap sebagai harta rampasan tanpa harus memberikan balas jasa.
Pada kondisi pertama, kenikmatan lenyap seiring dengan ketiadaannya, namun ruhnya tetap ada. Dengan kata lain, rahmat Zat Pemberi nikmat tertanam dalam diri.
Adapun pada kondisi kedua kenikmatan sementara itu tidak lenyap agar ruhnya tetap ada. Namun, ia padam dengan asap yang masih ada. Di sini, musibah bisa menghapus asapnya dan mengekalkan cahayanya. Asap dari nikmat tadi berupa ketiadaannya dan dosa akibatnya.
Apabila berbagai nikmat yang terdapat di dunia dan di akhirat dilihat dengan cahaya iman, di dalamnya tampak gerakan berputar secara berkala di mana berbagai benda semisal terus datang secara bergantian dengan substansi yang tak pernah padam. Perpisahan hanya terjadi dengan bagian-bagiannya. Karena itu, sakitnya ketiadaan dan perpisahan tidak membuat berbagai kenikmatan iman surut; berbeda dengan kondisi kedua. Setiap kenikmatan pasti akan berakhir dan kondisi berakhir tadi mendatangkan derita. Bahkan membayangkannya saja juga melahirkan derita. Pasalnya, pada kondisi kedua, gerakannya tidak berputar;’ tetapi lurus . Di dalamnya kenikmatan dipastikan akan mengalami kematian abadi.
Rehat
Ketahuilah bahwa niat merupakan salah satu dari empat kata yang telah disebutkan di pendahuluan. Ia baru didapat setelah usiaku mencapai empat puluh tahun. Ya, niat merupakan obat mujarab yang ajaib yang dengannya berbagai kebiasaan dan aktivitas di muka bumi berubah menjadi inti ibadah. Ia juga menjadi ruh yang tembus yang dengannya kondisi mati menjadi hidup. Maka, ia menjadi aktivitas ibadah yang hidup. Dalam niat juga terdapat karakter yang membuat keburukan menjadi kebaikan.Niat adalah ruh. Ruh niat berupa ikhlas. Tidak ada keselamatan kecuali dengan ikhlas. Dengan niat amal yang banyak bisa dilakukan dalam waktu singkat dan sorga bisa dibeli lewat apa yang diperbuat dalam waktu singkat tersebut sesuai dengan tekad tadi. Dengan niat, seseorang menjadi selalu bersyukur karena berbagai kenikmatan yang terdapat di dunia dipetik dengan dua cara:
Pertama, dengan niat seseorang menganggap nikmat bersambung kepada tangan Zat Yang Maha Penyayang dan Berbuat baik. Pandangannya beralih dari nikmat menuju pemberian nikmat. Dengan itu, ia lebih merasakan nikmat yang ada.
Kedua, ia hanya mencari nikmat semata sehingga pemberian nikmat tak pernah terpikirkan. Pandangannya terbatas pada nikmat dan kelezatan sehingga dianggap sebagai harta rampasan tanpa harus memberikan balas jasa.
Pada kondisi pertama, kenikmatan lenyap seiring dengan ketiadaannya, namun ruhnya tetap ada. Dengan kata lain, rahmat Zat Pemberi nikmat tertanam dalam diri.
Adapun pada kondisi kedua kenikmatan sementara itu tidak lenyap agar ruhnya tetap ada. Namun, ia padam dengan asap yang masih ada. Di sini, musibah bisa menghapus asapnya dan mengekalkan cahayanya. Asap dari nikmat tadi berupa ketiadaannya dan dosa akibatnya.
Apabila berbagai nikmat yang terdapat di dunia dan di akhirat dilihat dengan cahaya iman, di dalamnya tampak gerakan berputar secara berkala di mana berbagai benda semisal terus datang secara bergantian dengan substansi yang tak pernah padam. Perpisahan hanya terjadi dengan bagian-bagiannya. Karena itu, sakitnya ketiadaan dan perpisahan tidak membuat berbagai kenikmatan iman surut; berbeda dengan kondisi kedua. Setiap kenikmatan pasti akan berakhir dan kondisi berakhir tadi mendatangkan derita. Bahkan membayangkannya saja juga melahirkan derita. Pasalnya, pada kondisi kedua, gerakannya tidak berputar;’ tetapi lurus . Di dalamnya kenikmatan dipastikan akan mengalami kematian abadi.
No Voice