Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | Al-Matsnawi al-Arabi an-Nuriye | 99
(1-357)
Misalnya, ketika orang yang melaksanakan shalat mengucap, “Alhamdulillâh (segala puji milik Allah)” seluruh kaum mukmin yang bermakmum di seluruh masjid dunia ini mengucap, “Ya, benar.”[1] Maka, pengingkaran ilusi dan bisikan setan menjadi gagal. Sebaliknya, semua indera dan hati manusia dipenuhi oleh perasaan iman. Tidak ada lagi pertanyaan mengapa dan bagaimana. Pada saat pertama jamaah besar itu terwujud bagi orang-orang bertakwa. Saat berada di tempatnya, orang yang melaksanakan shalat hendaknya melihat Ka’bah. Ka’bah tersebut tetap berada di tempatnya tanpa ia tarik kepadanya atau tanpa ia pergi ke tempat Ka’bah agar semua barisan tadi tampak. Ia tidak sibuk dan berusaha pergi kepadanya; namun cukup dalam perasaan saja. Siapa tahu ketentuan Tuhan yang tidak lalai terhadap sesuatupun menuliskan sejumlah baris dalam lembaran catatan yang selalu Dia jaga lewat bentuk shaf penuh berkah dan teratur itu.
Ketahuilah bahwa dalam perjalanan yang gelap gulita aku menyaksikan sejumlah ketentuan mulia sebagai bintang dan lentera. Setiap rambu dan ketentuan syariat berkilau di antara jalan-jalan gelap yang jumlahnya tak terhingga. Ketika seseorang menyimpang dari rambu tersebut ia akan menjadi mainan setan, tunggangan ilusi, galeri berbagai kecemasan, dan tempat penyimpanan beban seperti gunung yang sebenarnya telah dipikulkan oleh rambu-rambu Tuhan jika ia sadar.
Aku menyaksikan rambu-rambu yang ada ibarat gunung dari langit yang turun merendah. Siapa yang berpegang pada bagiannya ia akan naik dan bahagia. Sebaliknya, siapa yang berpaling darinya dan berpegang pada akal sama seperti orang yang ingin mencapai langit dengan sarana bumi. Kebodohannya sama seperti Firaun.
“Wahai Haman, buatkan bagiku sebuah bangunan yang tinggi...”[2]
Ketahuilah bahwa dalam jiwa terdapat kerumitan yang membingungkan di mana ia membuat sesuatu melahirkan kebalikannya. Ia melihat sesuatu yang berbahaya sebagai sesuatu baik baginya.
Misalnya, sinar mentari sampai kepadamu. Ia menghapus dan menerpa wajahmu. Namun, tanganmu tidak bisa meraihnya serta suka citamu juga tak mampu mempengaruhinya. Ia demikian dekat denganmu, namun sekaligus jauh darimu. Menjadikan jaraknya yang jauh sebagai dalil bahwa ia tak mempengaruhimu serta jaraknya yang dekat sebagai dalil keterpengaruhannya olehmu adalah sebuah kebodohan. Demikian pula kondisi manusia yang dengan hawa nafsu dan sifat egonya melihat Sang Pencipta yang amat dekat dengannya dan sekaligus jauh darinya merupakan penyebab kesesatannya.
[1] Pasalnya, seluruh mereka juga mengucap, “Alhamdulillâh” sama sepertinya.
[2] Q.S. Ghâfir: 36.
Petunjuk
Ketahuilah bahwa dalam perjalanan yang gelap gulita aku menyaksikan sejumlah ketentuan mulia sebagai bintang dan lentera. Setiap rambu dan ketentuan syariat berkilau di antara jalan-jalan gelap yang jumlahnya tak terhingga. Ketika seseorang menyimpang dari rambu tersebut ia akan menjadi mainan setan, tunggangan ilusi, galeri berbagai kecemasan, dan tempat penyimpanan beban seperti gunung yang sebenarnya telah dipikulkan oleh rambu-rambu Tuhan jika ia sadar.
Aku menyaksikan rambu-rambu yang ada ibarat gunung dari langit yang turun merendah. Siapa yang berpegang pada bagiannya ia akan naik dan bahagia. Sebaliknya, siapa yang berpaling darinya dan berpegang pada akal sama seperti orang yang ingin mencapai langit dengan sarana bumi. Kebodohannya sama seperti Firaun.
“Wahai Haman, buatkan bagiku sebuah bangunan yang tinggi...”[2]
Petunjuk
Ketahuilah bahwa dalam jiwa terdapat kerumitan yang membingungkan di mana ia membuat sesuatu melahirkan kebalikannya. Ia melihat sesuatu yang berbahaya sebagai sesuatu baik baginya.
Misalnya, sinar mentari sampai kepadamu. Ia menghapus dan menerpa wajahmu. Namun, tanganmu tidak bisa meraihnya serta suka citamu juga tak mampu mempengaruhinya. Ia demikian dekat denganmu, namun sekaligus jauh darimu. Menjadikan jaraknya yang jauh sebagai dalil bahwa ia tak mempengaruhimu serta jaraknya yang dekat sebagai dalil keterpengaruhannya olehmu adalah sebuah kebodohan. Demikian pula kondisi manusia yang dengan hawa nafsu dan sifat egonya melihat Sang Pencipta yang amat dekat dengannya dan sekaligus jauh darinya merupakan penyebab kesesatannya.
[1] Pasalnya, seluruh mereka juga mengucap, “Alhamdulillâh” sama sepertinya.
[2] Q.S. Ghâfir: 36.
No Voice