Risalah Mi’raj | Risalah Mi’raj | 7
(1-43)
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas. (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli ketika Dia berada di ufuk yang tinggi.
Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
Maka, jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat lagi. Lalu Dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah Dia wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka, apakah kaum (musyrik Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah ia lihat? Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal.
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhan yang paling besar. 2
Dari perbendaharaan ayat yang mulia tersebut kami ingin menyebutkan dua petunjuk saja. Keduanya merujuk kepada rambu retorik (balaghah) yang terdapat dalam kata ganti “Sesungguhnya Dia”. Hal itu lantaran keduanya terkait dengan persoalan kita saat ini seperti yang telah kami jelaskan dalam risalah Mukjizat Alquran (al-Mu’jizât al-Qur`âniyyah).
Alquran menutup ayat pertama dengan ungkapan, “Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” Hal itu setelah Dia menyebutkan peristiwa diperjalankannya Rasulullah SAW. dari pendahuluan mi’raj, yakni dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha—dan puncak perjalanan beliau yang diterangkan oleh surat an-Najm.
Kata ganti dalam “Sesungguhnya Dia” bisa kembali kepada Allah SWT. atau kembali kepada Rasulullah
SAW.
Apabila kembali kepada Rasul SAW., maka hukum retorika dan kesesuaian konteksnya menunjukkan bahwa perjalanan kecil ini termasuk di antara perjalanan umum dan mi’raj integral di mana beliau mendengar dan menyaksikan semua tanda kekuasaan Tuhan serta kreasi Ilahi yang menakjubkan yang dijumpai oleh penglihatan dan pendengarannya pada saat naik dalam tingkatan nama-nama Tuhan yang komprehensif sampai ke Sidratul Muntaha hingga berjarak seukuran dua busur (Qaba Qausain) atau lebih dekat dari itu. Ini menunjukkan bahwa wisata parsial di atas (Isra) merupakan kunci bagi wisata komprehensif yang mencakup berbagai kreasi Ilahi yang menakjubkan.  3
Apabila kata ganti tersebut kembali kepada Allah SWT., maka maknanya ialah, “Dia mengundang hamba-Nya untuk menghadap kepada-Nya serta berada di hadapannya untuk menyerahkan kepadanya sebuah tugas penting. Karena itu, Dia perjalankan beliau dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha yang merupakan tempat berkumpul para nabi. Setelah Dia mempertemukan Nabi SAW. dengan mereka sekaligus menampakkannya sebagai pewaris mutlak bagi prinsip agama seluruh nabi, Dia memperjalankannya dalam satu perjalanan di dalam kerajaan-Nya dan wisata di dalam alam malakut-Nya sampai dengan Sidratul Muntaha dan berjarak seukuran dua busur.
---------------------------------------------------------------------------------
2 QS. an-Najm: 4-18
3 Dalam tafsir Rûh al-Ma’ânî karya al-Alûsî (jilid 15/ hlm.
14), disebutkan sebagai berikut: “Kata ganti di atas diasumsikan mengacu kepada Nabi SAW. sebagaimana yang dinukil oleh Abu al-Baqâ dari sebagian mereka. Ia berkata, “Maksudnya ia mendengar perkataan Kami dan melihat diri Kami. Menurut al-Jalbi, “Hal itu tidak aneh. Jadi, maknanya, ‘Hamba-Ku yang mendapatkan penghormatan tersebut sangat layak atasnya. Ia mendengar perintah-perintah-Ku dan larangan-Ku, mengamalkannya, serta melihat di mana ia melihat makhluk-makhluk
Ku dengan mengambil pelajaran darinya atau melihat berbagai tanda kekuasaan yang kami perlihatkan padanya.” Lihat pula tafsir Ismail al-Qanawi ala al-Baydhâwî jilid 4/224 (Ihsan Qasim As-Shalihi).
No Voice